MATA INDONESIA, JAKARTA – Pandemi virus corona di Tanah Air yang sudah berlangsung sejak setahun terakhir ini telah mengubah perilaku masyarakat dalam hal transaksi keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, akumulasi nilai transaksi daring (gross merchandise value) di Indonesia selama 2021 mencapai USD 70 miliar ( Rp 1.000 triliun) dan menembus USD 146 miliar di 2025.
Angka pencapaian di 2021 ini merupakan tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Bahkan mengalahkan Vietnam (USD 57 miliar) dan Thailand (USD 56 miliar). Pesatnya pertumbuhan ekonomi dan keuangan digital karena maraknya perdagangan elektronik (e-commerce) di Indonesia. Yakni, sebesar USD 53 miliar atau tumbuh 52 persen.
Hal ini membawa Indonesia sebagai salah satu negara dengan potensi tinggi dalam peningkatan ekonomi dan keuangan digital. Di samping itu selama 2020 hingga semester pertama 2021 ada sebanyak 72 persen dari konsumen baru digital atau 15 juta orang berasal dari daerah nonmetropolitan.
Sepanjang Januari 2021 saja, dari aktivitas perdagangan elektronik di Indonesia, sebanyak 93 persen pengguna internet mencari produk secara daring. Sebanyak 78,2 persen dari mereka menggunakan aplikasi belanja daring dari telepon genggam. Sedangkan 79,1 persen pengguna internet membeli produk mereka lewat telepon genggam.
Sebagian besar pemilik usaha yang merupakan sektor usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) akan berupaya meningkatkan pengguna layanan keuangan digital. Terutama dalam 1-2 tahun ke depan. Kondisi ini memberikan peluang besar bagi industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) untuk menangkapnya.
Salah satu upaya yang dilakukan OJK adalah dengan mengajak para pengelola BPR-BPRS untuk berkolaborasi dengan layanan teknologi finansial (tekfin). Atau penyebutannya sebagai shadow banking ini.
Berdasarkan keterangan Direktur Eksekutif Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto, sudah 31 perusahaan tekfin di Indonesia menggandeng 51 BPR. Kolaborasi ini mampu meningkatkan portofolio kredit kedua pihak hingga 40 persen pada 2021.
Selama pandemi berlangsung, kinerja BPR-BPRS masih terjaga dan tumbuh positif. Dalam kurun Januari-September 2021, aset BPR-BPRS tumbuh 8,9 persen. Ini jauh dari periode sama tahun sebelumnya. Demikian pula dengan tingkat penyaluran kredit. Naik 4,33 persen dan pengelolaan dana pihak ketiga (DPK) melonjak sampai 11,27 persen.
Ketua Umum Perhimpunan BPR Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto mengatakan bahwa seluruh BPR sangat prudent saat pandemi. BPR, kata Joko, membiayai segmen UMKM produktif dan memiliki arus kas (cashflow) baik lantaran UMKM skala mikro memiliki ketahanan lebih baik dari usaha besar.
Penyaluran kredit berada di angka tiga persen dan kredit tumbuh mencapai 12,7 persen. “BPR-BPRS berperan dalam mendukung program pemerintah sebagai mitra UMKM di mana potensinya besar di pengusaha mikro dan tidak tersentuh perbankan,” katanya.
Menurut Deputi Pengawas Perbankan I OJK Teguh Supangkat, ada tiga kelompok kegiatan usaha BPR-BPRS berdasarkan permodalannya. Yaitu BPRKU I dengan modal di bawah Rp15 miliar. BPRKU II (Rp15 miliar-Rp50 miliar). Dan BPRKU III dengan permodalan di atas Rp50 miliar.