MATA INDONESIA, JAKARTA – Indonesia baru saja memperoleh predikat investment grade alias layak investasi stabil atau kondusif dari lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor’s (S&P). Predikat Indonesia pun naik menjadi BBB-/stable outlook, mengingat sebelumnya lembaga itu telah memberikan negatif outlook dalam dua tahun terakhir.
Pemberian predikat layak investasi itu tentu menjadi kabar yang menggembirakan bagi Indonesia. Negara ini memiliki potensi untuk akses yang lebih besar kepada basis investor.
Apa yang melandasi S&P memberikan predikat itu? S&P menilai, kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi Covid-19 serta pengelolaan kebijakan makroekonomi (fiskal, moneter, sektor keuangan dan sektor riil) dinilai efektif dalam mendukung resiliensi kinerja perekonomian Indonesia.
Wajar saja penilaian itu. Pasalnya, beberapa indikator pemberian penilaian itu, salah satunya adalah ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh pada 5.1 persen pada 2022.
Demikian pula adanya data yang menyebutkan PDB per kapita Indonesia rendah dibandingkan dengan negara yang sama levelnya, Namun pembedanya, Indonesia diyakini memiliki prospek pertumbuhan yang kuat ke depan.
Masih berkaitan dengan penilaian S&P tersebut, lembaga itu juga memberikan memperkirakan laju pemulihan Indonesia akan semakin cepat pada 2022, seiring dengan pelonggaran pembatasan mobilitas masyarakat.
Demikian pula sudah berjalannya normalisasi kegiatan ekonomi setelah pelaksanaan program vaksinasi pemerintah. Peningkatan pertumbuhan ke depan karena masih tingginya harga komoditas.
Konflik geopolitik Ukraina dan Rusia juga berpotensi memberikan tekanan bagi ekonomi global. Sejumlah negara tentu terkena dampak dari konflik tersebut. Namun, S&P menilai dampak risiko bagi Indonesia masih dalam level yang manageable. Meski negara ini harus waspada terhadap tekanan ekonomi global yang lebih parah dari eskalasi tersebut.
Beberapa kendala yang bisa menghambat laju pertumbuhan Indonesia. S&P juga memperingatkan potensi munculnya varian baru dari virus Covid-19. Masih menjadi risiko terhadap outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurut S&P, fleksibilitas kebijakan fiskal merespons gejolak pandemi Covid-19 mampu memitigasi dampak yang lebih dalam. Terutama pada perekonomian serta mendorong akselerasi pemulihan ekonomi.
Menguatnya pemulihan ekonomi, upaya perbaikan pengelolaan fiskal melalui reformasi perpajakan di sisi penerimaan dan reformasi Hubungan Keuangan Pusat-Daerah (HKPD) di sisi belanja. Serta komitmen pemerintah melakukan konsolidasi fiskal mulai 2023 akan memperkuat posisi fiskal dalam jangka menengah.
Penguatan posisi fiskal yang mulai terlihat sejak Semester II-2021 terus berlanjut di awal tahun 2022. Hal ini telah memberikan keyakinan bagi S&P bahwa Indonesia memiliki fondasi kuat mewujudkan transisi yang sehat dan aman menuju konsolidasi fiskal pada 2023.
Sementara itu, berkaitan dengan defisit anggaran, S&P memperkirakan defisit akan jauh menyempit dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Dan kembali di bawah 3 persen terhadap PDB.
Selain itu, posisi eksternal Indonesia menguat signifikan pada 2021. Tercatat surplus 0,3 persen PDB. Perbaikan transaksi perdagangan terus berlanjut dan mencatatkan pertumbuhan yang kuat di awal 2022. S&P optimistis bahwa posisi eksternal Indonesia resilient di tengah gejolak global akibat konflik Rusia-Ukraina.
S&P meyakini bahwa Undang-undang (UU) Cipta Kerja akan mampu mendorong perbaikan signifikan pada iklim usaha dan investasi. Melalui perbaikan mendasar pada sistem regulasi dan efisiensi birokrasi sehingga akan mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi potensial.
Selain itu, dari sisi stabilitas politik, S&P menilai, Indonesia dalam kondisi stabil dan kondusif. Afirmasi peringkat Indonesia oleh S&P pada BBB dengan stable outlook mencerminkan optimisme investor internasional. Terhadap prospek perekonomian Indonesia di tengah tantangan global maupun domestik.
Di saat beberapa negara menghadapi penurunan peringkat, Indonesia justru mampu mempertahankan peringkat layak investasi. Dan memperbaiki outlook dari negatif menjadi stabil. Kebijakan fiskal yang responsif dan fleksibel berperan penting dalam menahan dampak pandemi Covid-19 serta mendorong pemulihan ekonomi.
Berkaitan dengan penilain S&P itu, Kementerian Keuangan mengapresiasi keputusan S&P. Hal ini mengingat S&P telah memberikan negatif outlook dalam dua tahun terakhir.
Menurut Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Luky Alfirman, peringkat kredit ini dapat membawa angin segar bagi perekonomian Indonesia ke depannya.
Peningkatan outlook Indonesia dari negative menjadi stable, merupakan pengakuan atas arah perbaikan ekonomi makro yang kuat. Khususnya laju pemulihan ekonomi yang relatif cepat, posisi eksternal yang kuat dan penguatan signifikan pada sisi fiskal.
“Peningkatan outlook ini menyiratkan bahwa kebijakan pemerintah sudah pada jalur yang tepat. Dan memberikan tantangan bagi pemerintah untuk tetap konsisten mengelola perekonomian dan kebijakan fiskal (APBN). Sehingga dampaknya dapat berkelanjutan,” ujar Luky.
Selain itu, dia menjelaskan, sinergi kebijakan pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan juga secara efektif mampu mendorong perekonomian.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo berpendapat, adanya afirmasi rating Indonesia dengan revisi outlook menjadi stabil tersebut menunjukkan pemangku kepentingan internasional tetap memiliki keyakinan yang kuat. Atas terjaganya stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia.
Perry Warjiyo juga tak memungkiri adanya peningkatan risiko global yang berasal dari tensi geopolitik Rusia-Ukraina. Perlambatan ekonomi global, dan peningkatan tekanan inflasi. Adanya keyakinan kuat itu, menurut Gubernur Bank Indonesia, juga karena dukungan kredibilitas kebijakan dan sinergi bauran kebijakan yang kuat. Antara Bank Indonesia dan pemerintah.
Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global dan domestik. “Kami [Bank Indonesia dan pemerintah] akan merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta terus memperkuat sinergi dengan pemerintah untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi.”