IIMS 2019 Laris Manis! 10 Ribu Kendaraan Terjual

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA – Sebanyak 10.148 kendaraan terjual dengan nilai transaksi mencapai Rp 3,1 triliun hingga hari kesembilan pameran Telkomsel International Motor Show (IIMS) 2019 di JIEXPO Kemayoran, pada 25 April-5 Mei.

“Per 3 Mei, total 10.148 unit kendaraan terjual, terdiri dari 9.134 mobil dan 1.014 unit motor,” kata Direktur Utama PT Dyandra Promosindo, Hendra Noor Saleh selaku penyelenggara pameran, Sabtu 4 Mei 2019 malam.

Ia mengatakan, penjualan mobil tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan motor hingga hari kesembilan. Dalam sambutannya pada upacara penutupan, Hendra atau yang akrab disapa Kohen menyampaikan angka penjualan motor kemungkinan akan bertambah hingga hari terakhir penyelenggaraan pameran pada Minggu 5 Mei 2019.

“Penjualan motor (di Indonesia) dapat mencapai 7 juta unit per tahun, sementara mobil 1,1 juta unit. Artinya APM (agen pemegang merk) roda dua masih malu-malu melaporkan penjualannya,” kata Kohen.

Dalam kesempatan itu, Kohen turut menyampaikan total transaksi hingga hari kesembilan IIMS 2019 mencapai Rp 3,1 triliun, sementara untuk nilai transaksi “after market” (aksesori) mencapai Rp 7,7 miliar.

“Menurut prediksi kami, dengan tambahan dua hari (4-5 Mei), IIMS 2019 akan mencatat rekor total transaksi terbanyak sepanjang masa,” kata Kohen.

Artinya, IIMS 2019, yang dihadiri 425.211 pengunjung per 3 Mei, harus menambah nilai transaksi lebih dari Rp 1,3 triliun agar dapat melampaui total transaksi tahun 2018 sebanyak Rp 4,4 triliun.

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini