MATA INDONESIA, JAKARTA – Berdasarkan survei, masih banyak warga Jabodetabek masih salam kaprah soal kualitas udara. Mereka menganggap langit biru cerah sebagai indikator udara bersih.
Hasil survei menunjukkan, warga Jabodetabek secara umum merasakan dampak kualitas udara dengan munculnya rasa tidak nyaman saat menghirup udara. Ini tercermin dari kebiasaan menggunakan masker oleh 59,2 persen warga Jabodetabek jauh sebelum pandemi.
Mereka juga mengaku merasakan sejumlah gangguan kesehatan seperti batuk dan bersin (44,6 persen), sakit kepala/pusing (44,3 persen), iritasi pada mata, hidung, tenggorokan dan kulit (42 persen).
Sebanyak 54,5 persen responden mengaku tinggal di kawasan yang udaranya berdebu dan bercampur asap kendaraan dan 45,7 persen mengaku suhu udara meningkat. Namun, warga tampaknya masih kurang menyadari atau belum mengetahui dimensi-dimensi persoalan kualitas udara.
“Gejala lain juga dirasakan seperti kelelahan, iritasi kulit, sesak nafas, nasal drip, hipersensitivitas, alergi dan lainnya juga dirasakan warga. Gejala-gejala ini umumnya juga dipicu oleh kualitas udara yang buruk, tanpa mereka sadari,” ujar panel ahli Katadata Insight Center, Mulya Amri.
Dari hasil survei terungkap sebanyak 45,9 persen warga Jabodetabek masih menganggap warna langit biru cerah sebagai indikator udara bersih. Hanya 15,4 persen yang menggunakan alat pemantau atau aplikasi sebagai rujukan untuk mengetahui kualitas udara. Sementara pengetahuan lebih dalam dan jauh, misal mengenai PM 2,5 masih sangat minim diketahui (22,1 persen).
“Padahal, jenis partikulat ini membahayakan kesehatan, karena berukuran sangat kecil sehingga dapat menembus bulu hidung atau paru-paru dan menimbulkan penyakit,” katanya.
Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang melakukan berbagai aktivitas yang berdampak buruk pada kualitas udara. Sebanyak 8,9 persen warga Jabodetabek masih mengelola sampahnya dengan cara dibakar serta masih banyak pula yang merokok (32,5 persen) yang diketahui bisa memberikan dampak tak baik bagi kesehatan pernapasan.
Co-Founder dan Chief Growth Officer NAFAS, Piotr Jakubowski juga mengungkapkan hal senada. Masih banyak masyarakat salah persepsi tentang kualitas udara bersih.
“Kesalahpahaman masyarakat tentang polusi udara seperti langit biru berarti udara bersih atau area yang penuh dengan pohon itu berarti tidak ada polusi, berakar dari kurangnya kesadaran dan pendidikan tentang kualitas udara,” ucapnya.
Sejumlah riset menunjukkan jika kualitas udara berdampak pada kesehatan bahkan panjang usia manusia. Riset terbaru yang dimuat Environmental Research Letters pada 9 September 2021 menunjukkan polusi udara berdampak pada otak. Peningkatan kadar PM2.5 dikaitkan dengan penurunan akut fungsi kognitif.