Hadapi Atalanta, PSG Tanpa Mbappe Bisa Apa?

Baca Juga

MATA INDONESIA, INTERNASIONAL – Paris Saint-Germain (PSG) akan menghadapi laga berat melawan Atalanta pada babak perempat final Liga Champions, 12 Agustus 2020 mendatang. Kali ini, PSG diperkirakan akan bermain tanpa bintang utamanya, Kylian Mbappe.

Manajer PSG Thomas Tuchel berkata, timnya butuh keajaiban besar untuk meraih kemenangan dengan bermain tanpa Mbappe, mengingat Atalanta bukan tim sembarangan. Kuda hitam Italia itu kini menjelma menjadi tim tangguh.

Sebelumnya, Mbappe mengalami cedera engkel setelah mendapat tekel keras di partai final Coupe de France, akhir pekan lalu.

Namun, Tuchel merasa optimistis, PSG bisa membawa kemenangan, meskipun tanpa kehadiran Mbappe.

“Peluang dia untuk tampil sangat tipis. Tapi, kami masih punya harapan untuk melawan Atalanta,” kata Tuchel, seperti dikutip dari Daily Mail, Jumat 31 Juli 2020.

Kini, Tuchel menaruh harapan besar kepada Mauro Icardi, sebagai tukang gedor utama yang selama ini tak pernah tampil mengecewakan.

Selain itu, Tuchel sudah melihat bagaimana Icardi mulai memadukan permainan dengan apik bersama Neymar dan Angel di Maria di lini serang.

”Permainan dia sudah sesuai dengan karakteristik permainan tim. Dia bisa meningkatkan performanya dan bisa tampil lebih baik. Dia adalah pemain yang memiliki disiplin,” ujar Tuchel.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini