MATA INDONESIA, JAKARTA-Energi baru terbarukan (EBT) harus menjadi penopang energi nasional. Hal itu harus diikuti dengan mengurangi zat karbon seperti yang dioperasikan pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil layaknya baru bara.
“Kita sadar bahwa energi menyumbang karbon, maka kita akan menekan karbon sedemikian rupa,” ujar Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto.
Indonesia telah terikat dalam Paris Agreement (Persetujuan Paris) pada 2016 terkait kesepakatan untuk mereduksi emisi karbon dioksida (CO2) yang efektif berjalan per 2020 lalu.
Pemerintah juga telah meratifikasi persetujuan tersebut dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 mengenai komitmen untuk mengurangi CO2 sebesar 29 persen pada 2030.
Karena itu, kata dia, EBT akan dikedepankan sebagaimana Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dibangun oleh PT Poso Energy. “Kita ingin mendengar best practice, pengalaman membangun (PLTA Poso) agar bisa menjadi pengalaman (bagi) kita semua,” ujarnya.
Pemilik PT Poso Energy, Jusuf Kalla mengatakan bahwa di samping urusan bisnis, salah satu tujuan menghadirkan PLTU di Poso adalah memberikan pekerjaan kepada masyarakat setempat untuk menghindari perpecahan dan peningkatan inovasi.
“PLTU di Poso dibangun karena Poso merupakan daerah konflik. Kalau masyarakat tak bekerja, kalau rakyat miskin, konfliknya akan kembali lagi,” katanya.
Selain itu, dia menyampaikan tentang pentingnya sumber daya listrik yang dibutuhkan Indonesia, karena setiap tahun akan bertambah penggunaannya dengan didukung beberapa faktor. Antara lain peningkatan jumlah penduduk sebesar 1,5 persen yang berkonsekuensi terhadap bertambahnya jumlah rumah tangga. Sehingga, barang-barang semacam kulkas dan televisi yang memerlukan listrik semakin banyak digunakan.
