Ekonomi Membaik, BI Mulai Kurangi Suntikan Likuiditas Tahun Ini

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Perekonomian sudah mulai membaik dalam beberapa bulan terakhir ini. Bank Indonesia (BI) akan mulai melakukan normalisasi melalui pengurangan likuiditas secara bertahap ke perbankan. Selama ini BI melakukan quantitative easing demi mendukung pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19.

”Likuiditas aset di perbankan sekarang mencapai 35 persen. Padahal sebelum Covid-19 maksimal hanya 21 persen. Sehingga kami akan mulai kurangi. Sedikit demi sedikit,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo, Sabtu 19 Februari 2022.

Perry menyebutkan, injeksi likuiditas Bank Indonesia sekitar 5,6 persen dari produk domesti bruto (PDB) selama dua tahun terakhir. Perry mengatakan, nilai itu salah satu injeksi yang terbesar di emerging market.

Namun seiring berjalannya pemulihan, maka injeksi akan mulai berkurang. Meski demikian, Perry memastikan perbankan masih bisa menyalurkan pinjaman dan membeli SBN, meskipun suntikan dana dari bank sentral berkurang.

Menurut Perry, BI juga sudah mulai mengkomunikasikan hal tersebut kepada perbankan. Termasuk rencana BI untuk menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan.
”Semua bank sudah tahu. Maret GWM naik 1,5 persen, Juni 1 persen dan September 50 bps. Sehingga perbankan bisa menyesuaikan portofolio, tapi kami tetap pastikan likuiditas perbankan lebih dari cukup untuk menyalurkan pinjaman dan membeli SBN,” ujarnya.
Pengurangan likuiditas ini juga sejalan dengan akan berakhirnya kebijakan Surat Keputusan Bersama (SKB) III tahun depan. Ini artinya Bank Indonesia (BI) tidak akan lagi membeli surat utang negara untuk membantu pendanaan Covid-19.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pusaran Konflik di Pantai Sanglen Gunungkidul

Mata Indonesia, Yogyakarta - Berangkat dari penutupan akses masuk Pantai Sanglen, Kemadang, Gunungkidul, yang dilakukan oleh Kraton Yogyakarta dan Obelix. Warga setempat, yang selama ini memanfaatkan lahan Pantai Sanglen untuk bertani dan mencari nafkah, merasa terpinggirkan. Mereka khawatir pengembangan pariwisata berskala besar akan mengabaikan kesejahteraan masyarakat lokal dan merusak lingkungan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini