MATA INDONESIA, JAKARTA – Ketika Aung San Suu Kyi dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) memenangkan pemilu bersejarah di tahun 2015, tidak sedikit yang bertanya-tanya nasib dualisme nama negara di bawah kepemimpinannya, apakah tetap menggunakan nama Burma atau Myanmar?
Sejak diubah dari Burma menjadi Myanmar oleh pemerintah militer pada tahun 1989, pergantian nama tersebut seolah mengalami polemik yang tidak berkesudahan.
Meskipun mayoritas negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengakui perubahan nama itu, dua negara besar seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris justru tetap menyebut negara tersebut dengan nama Burma. Mengapa demikian?
Mengutip laman United States Institute of Peace, AS dan negara lainnya yang tidak mengakui pergantian nama Burma berpendapat bahwa perubahan itu dilakukan tanpa persetujuan rakyat sehingga tidak sah. Burma disebut hanya mengacu pada kelompok etnis terbesar dan tidak termasuk 134 komunitas etnis lainnya di negara itu.
Namun dalam praktiknya, kedua nama yang disematkan pada negara tersebut telah digunakan selama berabad-abad. Burma, yang menjadi nama resmi negara di bawah pemerintahan kolonial Inggris dan bertahan setelah kemerdekaan, digunakan terutama dalam bahasa lisan, sedangkan Myanmar adalah nama formal yang umumnya digunakan dalam komunikasi tertulis.
Setelah junta militer Myanmar menumpas pemberontakan pro-demokrasi nasional pada September 1988, nama resmi negara diubah dari Republik Sosialis Persatuan Burma kembali ke Persatuan Burma. Nama Burma sendiri tercetus ketika negara itu berhasil merebut kemerdekaannya dari Inggris pada Januari 1948.
Pada Juli 1989, kekuasaan militer yang baru mengubah nama negara sekali lagi, menjadi Persatuan Myanmar. Pada saat yang sama, sejumlah nama tempat lainnya juga diubah agar lebih sesuai dengan pengucapan aslinya dalam bahasa Burma. Misalnya, Rangoon, yang saat itu menjadi ibu kota negara, menjadi Yangon.
Pada tahun 2008, setelah pengesahan konstitusi nasional yang baru, nama resmi negara tersebut diubah lagi, menjadi Republik Persatuan Myanmar. Perubahan nama itu telah diterima oleh sebagian besar negara yang tergabung dalam organisasi internasional besar, seperti PBB. Namun, beberapa negara, kelompok aktivis, hingga media pemberitaan, masih berpegang pada bentuk lama. Mayoritas menjadikannya sebagai aksi protes terhadap penolakan rezim militer sebelumnya yang dianggap mengubah nama secara sepihak.
Beberapa negara, seperti Australia, telah mengambil pendekatan campuran, kadang-kadang menggunakan kedua nama negara tersebut secara bergantian. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menyatakan keprihatinan atas pelanggaran hak asasi manusia dan menawarkan isyarat dukungan untuk gerakan demokrasi yang diperangi junta militer negara itu, sementara berusaha tetap tunduk pada tuntutan formal protokol diplomatik.
Pada 8 November 2015, pemilu yang dianggap cukup bebas dan adil dilaksanakan. Setelah melakukan perubahan pada undang-undang, posisi penasihat negara untuk Aung San Suu Kyi yang berdasarkan konstitusi 2008 tidak dapat menjadi pemimpin, akhirnya diubah, yang membuatnya resmi memimpin negara itu.
Dari salah satu wawancara pada 2015, Aung San Suu Kyi sempat ditanya tentang nama resmi negara segera setelah dirinya menjabat di tahun 2016 dan menyatakan preferensi berkelanjutannya untuk nama Burma. Namun, dia menegaskan bahwa kedua nama negara, baik Burma maupun Myanmar, dapat diterima.
Lebih lanjut, pada bulan April 2016, Aung San Suu Kyi mengatakan kepada para pejabat diplomatik asing bahwa tidak masalah apakah negara di bawah kepemimpinannya bernama Burma atau Myanmar.
Sebab, tidak ada dalam konstitusi yang menyatakan bahwa negara harus menggunakan istilah tertentu. Selain itu, dalam konstitusi disebutkan dengan jelas bahwa negara itu disebut Republik Persatuan Myanmar. Meskipun secara pribadi lebih menyukai Burma, Aung San Suu Kyi menggunakan nama Myanmar dari waktu ke waktu.
Saat ini, setelah baru menjalani 10 tahun pemerintahan sipil, Myanmar jatuh lagi ke tangan militer. Aung San Suu Kyi ditangkap pada Senin, 1 Februari 2021 dan dijadikan tahanan rumah. Junta militer Myanmar menuding Aung San Suu Kyi curang dalam memenangi pemilu untuk masa jabatan keduanya pada November 2020 lalu.
Seperti diketahui, Myanmar merupakan negara termiskin di Asia Tenggara dengan latar pendidikan terbelakang. Hal ini dikarenakan Myanmar lama dikuasai pemerintahan militer yang menjadi penyebab maraknya korupsi dan pembangunan terhambat.
Myanmar memiliki ekonomi yang sangat stagnan dan terisolasi selama beberapa dekade. Ketertinggalan ekonomi negara itu tidak lepas dari sejarah Myanmar yang selama puluhan tahun diperintah oleh junta militer (Tatmadaw). Myanmar dikuasai oleh kalangan angkatan bersenjata sejak kudeta tahun 1962, yang dipimpin oleh Ne Win.
Setelah kudeta itu, junta militer Myanmar melakukan kebijakan ekonomi yang disebut ‘Jalan Burma menuju Sosialisme’, sebuah program untuk menasionalisasi semua industri, dengan pengecualian pertanian. Program itu berakibat merusak ekonomi dan kestabilan negara.
Akibat pemerintahan militer itu pula, korupsi merajalela, di mana para jenderal menguasai sektor ekonomi, seperti pertambangan dan perhutanan. Pembangunan juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya, sektor industri tidak bisa berkembang.
Sekitar 70 persen dari populasi penduduk bekerja di sektor pertanian dan sumber daya alam, karena kurangnya perkembangan industri. Setelah beberapa dekade pemerintahan militer, Myanmar menjadi negara yang kurang berkembang dan bergantung pada sektor primer berupa sumber daya alam mentah.
Namun, sejak pemerintahan sipil mengambil alih, Myanmar berusaha menciptakan pemulihan ekonomi yang positif. Sayangnya, dengan kudeta militer yang kembali terjadi di tahun ini, agaknya akan sulit untuk mempertahankan perubahan yang sudah dilakukan.
Reporter: Safira Ginanisa