MATA INDONESIA, JAKARTA-Aceh mewacanakan membuat peraturan daerah tentang legalisasi ganja untuk kepentingan medis. Hal itu diungkapkan oleh Komisi V Bidang Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Mereka segera memanggil tenaga ahli untuk mengkaji aturan itu.
“Sebuah keharusan Aceh melakukan sebuah kajian dan ini tentunya akan melahirkan sebuah regulasi, tentunya karena kita berbicara Aceh adalah qanun,” kata Ketua Komisi V DPRA M Rizal Falevi Kirani di Banda Aceh.
Falevi mengatakan, baru-baru ini Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Produksi dan/atau Penggunaan Narkotika untuk Kepentingan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Peraturan menteri tersebut, kata Falevi, menjadi dasar pihaknya melakukan kajian yang lebih komprehensif terhadap rencana legalisasi ganja untuk kepentingan kesehatan.
“Saya pikir karena Aceh mempunyai literatur ganja yang sangat komprehensif, dan juga memiliki (tumbuhan ganja) berkualitas terbaik, tentu ini menjadi penting dikaji untuk melahirkan sebuah regulasi,” ujarnya.
Falevi menyampaikan, peluang yang ada tersebut harus dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh dengan cara melegalkannya. Apalagi saat ini masih banyak negara yang tidak bisa tumbuh tanaman ganja berkualitas seperti di Aceh.
Karena itu, perlu mengatur mekanisme dan tata cara apa saja yang dilarang dan dibolehkan. Sehingga nantinya tanaman tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan medis.
“Ini juga menjadi salah satu prospek ke depan untuk peningkatan PAD Aceh. Karena ini akan menjadi barang ekspor untuk negara-negara luar,” katanya.
Bukan Barang Asing bagi Masyarakat Aceh
Falevi menuturkan, saat ini pihaknya bersama unsur lainnya terus menganalisis secara detail positif dan negatifnya penerapan qanun tersebut.
Dalam waktu dekat, Komisi V DPRA segera memanggil para tenaga ahli untuk mengkaji secara regulasi-nya, serta juga melibatkan berbagai unsur, baik ahli kesehatan serta tim riset.
Berdasarkan literatur, kata Falevi, tanaman ganja bukan barang asing dan tabu bagi masyarakat Aceh. Namun, harus ada aturan atau regulasi agar tidak terjadi penyalahgunaan yang melanggar aturan bernegara.
“Di sini lah hadirnya pemerintah untuk mengatur tersebut, sehingga rakyat tidak disalahkan. Tentunya sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan berlaku,” katanya.