MATA INDONESIA, TEHERAN – Presiden Iran, Ebrahim Raisi mengambil sumpah jabatan di depan parlemen pada Kamis (5/8). Ulama Syiah itu secara resmi akan memulai masa jabatannya ketika pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei mendukung kemenangannya dalam pemilihan Juni.
Dengan kepresidenan Raisi, semua cabang kekuasaan di Iran akan dikendalikan oleh kelompok garis keras anti-Barat yang setia kepada Khamenei. Raisi pun berjanji untuk mengambil langkah-langkah untuk mencabut sanksi yang lebih luas yang telah memotong ekspor minyak Iran dan menutupnya dari sistem perbankan internasional.
“Di hadapan Al-Qur’an dan di hadapan bangsa, saya bersumpah kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk menjaga agama resmi negara dan Republik Islam serta konstitusi negara,” kata Raisi dalam sebuah upacara yang disiarkan langsung di televisi pemerintah, melansir Reuters, Jumat, 6 Agustus 2021.
“Rakyat Iran mengharapkan pemerintah baru untuk meningkatkan mata pencaharian mereka … Semua sanksi ilegal AS terhadap bangsa Iran harus dicabut. Pemerintah baru akan bekerja untuk meningkatkan perekonomian untuk menyelesaikan masalah bangsa,” kata Raisi setelah dilantik, bersumpah untuk melayani bangsa dan meningkatkan hubungan dengan tetangganya.
Teheran telah bernegosiasi dengan enam kekuatan untuk menghidupkan kembali kesepakatan Nuklir Iran 2015 yang ditinggalkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 2018, dengan alasan terlalu lunak terhadap Iran.
Di bawah kesepakatan itu, Iran setuju untuk mengekang program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi internasional, tetapi Trump menarik diri dari kesepakatan itu dan menerapkan kembali sanksi yang telah melumpuhkan ekonomi Iran. Sejak saat itu, Teheran perlahan mulai melanggar batas yang dikenakan pada kegiatan nuklirnya berdasarkan perjanjian.
Seperti Khamenei, Raisi telah mendukung pembicaraan nuklir, tetapi dia secara luas diperkirakan akan mengambil garis yang lebih keras dalam pembicaraan yang terhenti. Pemimpin tertinggi memiliki keputusan terakhir tentang semua masalah negara termasuk kebijakan nuklir.
Para pejabat Iran dan Barat mengatakan masih ada kesenjangan signifikan dalam pembicaraan nuklir dan belum mengumumkan kapan pembicaraan itu, yang putaran terakhirnya berakhir pada 20 Juni, akan dilanjutkan.
Paman Sam mendesak Raisi – yang berada di bawah sanksi AS atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia ketika menjabat hakim, untuk melanjutkan pembicaraan segera, dengan mengatakan jendela diplomatik tidak akan tetap terbuka selamanya.
“Kami berharap Iran mengambil kesempatan itu,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price.
Ketegangan meningkat antara Iran dan Barat setelah dugaan serangan pesawat tak berawak pekan lalu terhadap sebuah kapal tanker yang dikelola Israel di lepas pantai Oman yang menewaskan dua anggota awak.
AS, Israel, dan Inggris menyalahkan insiden itu pada Iran. Teheran telah membantah bertanggung jawab, dan memperingatkan akan segera menanggapi setiap ancaman terhadap keamanannya.
Iran juga membantah terlibat dalam insiden pembajakan di Laut Arab. Sumber-sumber keamanan maritim mengatakan mereka menduga pasukan yang didukung Iran berada di balik serangan terhadap sebuah kapal tanker berbendera Panama dan Washington mengatakan pihaknya yakin Iran membajak kapal itu tetapi tidak dalam posisi untuk mengkonfirmasi.
Ditunjuk oleh Khamenei untuk menjalankan peradilan pada tahun 2019, Raisi ditempatkan di bawah sanksi AS beberapa bulan kemudian atas peran yang diduga dimainkannya dalam eksekusi ribuan tahanan politik tahun 1988. Akan tetapi, Iran tidak pernah mengakui pembunuhan tersebut.
Seorang anak didik Khamenei, Raisi mengatakan sanksi AS dijatuhkan padanya karena melakukan pekerjaannya sebagai hakim. Para pembangkang khawatir kepresidenannya dapat menyebabkan lebih banyak represi.