MATA INDONESIA, JAKARTA – Kasus PT Asuransi Jiwasraya masih belum menemui titik akhir. Anggota Komisi III DPR RI dari Partai Demokrat Mulyadi mengatakan, kasus ini merupakan kasus yang beresiko tinggi.
“Kasus ini memiliki resiko yang besar, mereka orang-orang profesional mengapa begitu berani melakukannya?,â€ujarnya dalam rapat antara Komisi III dengan Kejaksaan Agung, Senin 20 Januari 2020.
Mulyadi lantas menaruh curiga bahwa ada yang mem-backing atau jadi dalang atas kasus gagal bayar pada perusahaan asuransi plat merah ini. “Tak menutup kemungkinan, jika kasus ini ada yang mem-backingi, entah personil, Direktur atau sebagainya sehingga para pelaku dengan percaya diri melakukan hal tersebut,†katanya.
Menanggapi hal tersebut, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, pihaknya akan terus mendalami siapa dalang dibalik kasus tersebut. “Kita akan cari tau dalangnya dan siapa yang paling bertanggung jawab,†ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa peran yang lambat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga ikut menyebabkan kasus Jiwasraya menjadi lambat. Ia memaparkan ada perbedaan penanganan dari OJK terkait kasus Jiwasraya ini.
“Memang ada nilai yang diketahui OJK. Tapi yang saya pertanyakan kenapa OJK lambat sekali kepada Jiwasraya ini, tidak seperti kasus Minna Padi pada Desember yang reksa dananya langsung dibubarkan,” katanya.
Sekadar info, OJK mengeluarkan surat bertanggal 21 November 2019 tentang kewajiban pembubaran enam reksa dana Minna Padi Aset Manajemen. Keputusan ini didasari beberapa undang-undang (UU) dan peraturan.
Namun, untuk kasus Jiwasraya yang sudah diduga melanggar prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi oleh Kejagung, malah tetap diizin OJK untuk menjual produk.
Selain itu, Kejagung juga menduga Jiwasraya melanggar prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi dengan memilih aset-aset berisiko tinggi untuk mengejar keuntungan yang tinggi. Pelanggaran ini terlihat dari penempatan saham sebanyak 22,4 persen dan senilai Rp 5,7 triliun dari aset finansial.
Korps Adhyaksa juga telah menyidik kasus gagal bayar tersebut sejak 17 Desember 2019 lalu. Berdasarkan hasil temuan penyidikan, kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 13,7 triliun. (Kris/Widyo)