MATA INDONESIA, JAKARTA – Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) adalah murni bisnis alias business to business (B to B). Ini antara konsorsium BUMN dua negara, Indonesia-Cina.
Untuk menggarap proyek ini, kedua negara memang menugaskan perusahaan BUMN. Indonesia membentuk PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang terdiri PT KAI (Persero), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PTPN.
PT PSBI kemudian mengenggam 60 persen saham di PT KCIC. Sementara konsorsium Cina oleh konsorsium perusahaan perkeretaapian melalui Beijing Yawan HSR Co.Ltd yang menguasai 40 persen saham PT KCIp.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan menggunakan dana APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp 4,3 triliun. PMN untuk menutupi kekurangan setoran modal konsorsium BUMN (base equity).
PMN dari APBN akan mengucur setelah Presiden Jokowi meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021. Regulasi itu sekaligus merevisi Perpres 107 Tahun 2015 yang sebelumnya secara tegas melarang duit APBN untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Meski belakangan konsorsium BUMN Indonesia mendapatkan dana ABPN dari pemerintah, PT KCIC menyatakan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tetap murni proyek bisnis.
”PMN melalui PT KAI untuk memenuhi kewajiban setoran modal dasar karena BUMN sponsor Indonesia tidak bisa melakukan setoran modal akibat tersampak pandemi Covid-19,” kata Coporate Secretary PT KCIC Rahadian Ratry, Sabtu 5 Maret 2022.
Rahadian Ratry berujar, dana dari APBN tersebut sebagai base equity, dalam hal ini PT KAI, sehingga proyek ini masih berjalan dengan skema bisnis murni.
“Dengan demikian, pelaksanaan proyek ini sebetulnya masih berjalan dengan skema B to B antara konsosium BUMN Indonesia yakni PSBI dengan konsosium BUMN Cina yaitu Beijing Yawan.