Buruknya Hubungan Militer dan Sipil di Myanmar

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Kehidupan sosial politik Myanmar seperti sekarang tidak terlepas dari sisi historisnya. Dari bukti-bukti yang tersedia, pemerintahan sipil Myanmar tidak pernah bertahan lama, di mana rezim sipil lebih sering digulingkan untuk diganti dengan pemerintahan militer.

Berbeda dengan Thailand yang rezim sipilnya lebih bertahan lama meskipun sering terjadi kudeta, karena pemerintahannya akan kembali diserahkan kepada kaum sipil.

Pasca Jendral Ne Win melakukan kudeta terhadap pemerintahan U Nu pada 1962, Myanmar dikuasai oleh militer dengan kebijakan yang menyengsarakan rakyat.

Myanmar mengalami pemerintahan sipil sejak kemerdekaannya di tahun 1948 sampai 1958 dan selama dua tahun dari 1960 sampai 1962, sehingga selain pada periode tersebut pemerintahan dipimpin oleh junta militer.

Sejarah militer di Myanmar diawali dari pendudukan Jepang. Pada awal Perang Dunia II, Jepang mendapat pengakuan sebagai negara pelopor pembebasan di kawasan Asia Tenggara. Hal itu yang mendorong Jenderal Aung San, seorang revolusioner Myanmar, bersama rekan-rekannya bepergian ke Jepang di tahun 1939 dan berjumpa dengan Kolonel Suzuki yang berusaha mengambil alih kekuasaan Inggris di Myanmar.

Pada tahun 1941, Aung San kembali ke Myanmar dan merekrut beberapa thakin (anggota perkumpulan yang memiliki kuasa) untuk mendapatkan pelatihan militer dari Jepang. Jepang pun mendukung pembentukan Myanmar Independence Army (BIA).

Pada awalnya, BIA diterima dengan baik di seluruh wilayah Myanmar. Pemimpin BIA mengembangkan kontak dengan para thakin lokal di daerah pedesaan dan dalam waktu singkat, BIA menjadi kekuatan yang terkenal di masyarakat. Meskipun tidak memainkan peranan penting dalam kampanye militer, sering disebutkan bahwa BIA membantu kekuatan Jepang di Myanmar. Namun, seiring naiknya popularitas BIA, militer Jepang berbalik menyerang kelompok tersebut dan membubarkannya pada 1942.

Pada tahun 1958, kelompok militer yang dikuasai oleh Jenderal Ne Win melakukan kudeta untuk merebut kekuasaan di bawah pemerintahan Perdana Menteri U Nu. Hal ini disebabkan oleh krisis politik yang meningkat dalam pemerintahan U Nu akibat perpecahan dalam Partai Anti-Facist People’s Freedom League (AFPL).

Demi menegakkan demokrasi dan mengembalikan pemerintahan ke pihak sipil, Jenderal Ne Win mengadakan pemilu di tahun 1960. Pemenang dalam pemilu adalah Partai Persatuan yang dipimpin U Nu, sehingga dia terpilih lagi menjadi Perdana Menteri.
Namun, pemerintahan U Nu digulingkan kembali pada tanggal 2 Maret 1962, yang menyebabkan terjadinya perebutan kekuasaan antara politisi sipil dan militer. Pada akhirnya, intervensi militer dalam politik menjadi mendominasi.

Penyebab perebutan kekuasaan ataupun intervensi militer terhadap pemerintahan di Myanmar saat itu bukan semata karena krisis politik, tetapi ada beberapa sebab, di antaranya ketidakmampuan politisi-politisi sipil untuk menciptakan suatu politik yang sehat dan stabil, bahaya keamanan yang selalu mengancam Myanmar yang tidak dapat diatasi selama pemerintahan U Nu, dan diri pribadi U Nu sendiri sebagai pemimpin dan politisi yang dianggap kurang tegas dalam mengambil keputusan.

Setelah kudeta itu, Myanmar menjalankan pemerintahan militer yang didukung oleh Dewan Revolusi. Awalnya, tujuan dari pemerintahan militer itu adalah untuk melakukan reformasi ekonomi, pembatasan pengaruh luar negeri dari berbagai dimensi baik ekonomi, politik maupun sosial, perubahan nilai dan perilaku rakyat, dan penyatuan rakyat Myanmar yang multi-etnis menjadi bangsa yang satu.

Namun dalam praktiknya, rezim militer gagal dalam menjalankan pemerintahan maupun membuat kebijakan yang berdampak baik bagi rakyat. Buktinya, di awal kekuasaaan pada tahun 1965 – 1966, produksi padi semakin menurun. Pemberontakan pun masih sering dijumpai di mana-mana, serta kejahatan dan kriminalitas semakin meningkat.

Sejak itu, kegagalan rezim sipil memakmurkan kehidupan rakyat semakin diragukan, di mana pemerintahan militer justru menyebabkan situasi semakin memburuk.

Kondisi hubungan antara sipil dan militer Myanmar hingga saat ini memang lebih kuat dan condong dalam dominasi militer pada berbagai sektor kehidupan masyarakat. Profesionalisme militer juga dianggap rendah karena terbuai kehidupan politik.

Dari perspektif yang lain, dalam studi jurnal Pengalaman Militer Burma, Myanmar dapat dikatakan sebagai negara yang menganut pretorianisme jika dilihat dari format pemerintahan dan hubungan antara sipil dan militernya. Pretorianisme dapat dilihat dari fenomena di mana militer memegang peran utama yang dominan menggunakan kekerasan atau setidaknya mengancam menggunakan kekerasan dan kekuasaan yang dimiliki.

Menurut Frederick Mundell Watkins dalam Encyclopedia of The Social Sciences, pretorianisme mengacu pada suatu situasi di mana militer dalam suatu masyarakat tertentu melaksanakan kekuasaan politik yang otonom di dalam masyarakat berkat penggunaan kekuatan aktual atau ancaman penggunaan kekuatan.

Dominasi militer dalam pemerintahan Myanmar yang bersifat konstan dan tetap itu membuatnya sangat sulit untuk digeser oleh politisi sipil. Bahkan politisi sipil semacam Aung San Suu Kyi yang menyuarakan demokrasi justru saat ini menjadi tahanan rumah di negara tersebut. Pemerintahan sipil kembali digulingkan setelah 10 tahun sempat berkuasa.

Kekuatan sipil dapat dikatakan sulit bergerak di Myanmar. Hal itu dapat dilihat sejak zaman U Nu yang dikalahkan oleh Ne Win. Masyarakat sipil tampak tidak memiliki pengaruh dalam menyampaikan keinginan dan kepentingannya.

Semua itu disebabkan oleh berbagai sektor kehidupan yang ada selalu diatur oleh pemerintah militer. Rakyat sipil mau tidak mau harus menurut pada aturan yang ditetapkan tersebut.

Pemerintah militer berusaha membatasi ruang gerak masyarakat sipil melalui berbagai sektor seperti pendidikan, budaya, komunikasi, dan lainnya. Dalam bidang teknologi komunikasi misalnya, di tahun 2001, hanya ada 11 saluran telepon untuk dua ribu orang penduduk, sedangkan biaya telepon nirkabel pun sangat mahal sehingga jarang ada yang memiliki.

Bahkan, walaupun masyarakat sipil melakukan protes ataupun aksi unjuk rasa terhadap pemerintah, pemerintah militer menghadapinya dengan jalan kekerasan. Seperti pada kasus di tahun 1989 di mana aktivis mahasiswa dan anggota Partai Democratic Party for a New Society (DPNS) yang melakukan kampanye demokrasi kemudian ditangkap dan dipenjarakan.

Reporter: Safira Ginanisa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Wabup Sleman : Ini Komitmen Kita Untuk Membersamai Seluruh Umat Beragama

Mata Indonesia, Sleman - Wakil Bupati Sleman, Danang Maharsa menghadiri kegiatan Doa Syukur Umat Hindu dalam rangka menyambut Hari Jadi ke-108 Kabupaten Sleman yang bertempat di Pura Widya Dharma, Dero, Wedomartani, Ngemplak pada Minggu (12/5).
- Advertisement -

Baca berita yang ini