MINEWS, JAKARTA-Beberapa hari belakangan, jagad media sosial viral mengenai cerita tentang adanya seorang pendaki yang menolong korban hipotermia dengan cara menyetubuhi korbannya.
Unggahan tersebut menjadi perdebatan oleh warganet terkait apakah tindakan ‘disetubuhi’ merupakan langkah yang tepat untuk menolong penderita hipotermia. Lalu seperti apa penjelasannya?
Bagi seorang pendaki hipotermia adalah ancaman kesehatan yang bisa selalu mengintai. Kondisi ini terjadi ketika suhu tubuh turun drastis di bawah normal sehingga berisiko menimbulkan penurunan fungsi organ bahkan bisa sampai menyebabkan kematian.
Mengenai cerita bagaimana seorang pendaki di Gunung RInjani menyelamatkan nyawa temannya yang hipotermia dengan disetubuhi. Ada anggapan kalau hal tersebut bagian dari metode skin to skin contact.
Menanggapi hal tersebut beberapa ahli kesehatan menyebut kalau metode skin to skin apalagi sampai bersetubuh berlebihan. dr Prayoga Noor Hakim misalnya menyebut malah ada risiko bahaya terjadi gangguan ritme jantung pada korban hipotermia.
“Bersetubuh malah ga boleh sebenarnya, karena untuk skin to skin rewarming-nya aja mesti gentle bahkan gak boleh di-massage… Kalau bikin gerakan yang unnecessary bisa trigger makin parah kalau udah ada gangguan ritme jantung,” kata dokter internship di RSUD Kemayoran ini.
Sementara itu menurut dr Wisnu Pramudito D. Pusponegoro, SpB dari Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI) metode skin to skin biasanya hanya dilakukan oleh ibu pada anak yang baru lahir. Alasannya karena permukaan kulit ibu yang lebih luas dari bayi bisa memindahkan panas tubuh dengan aman.
Kalau skin to skin dengan luas permukaan kulit yang sama, penolong bisa ikut hipotermi. Memang panasnya dia mengalir tapi dingin juga akan ikut mengalir. “Itu tidak boleh. Penolong tidak boleh jadi korban berikutnya,” katanya.