MATA INDONESIA, JAKARTA – Krisis ekonomi dan politik di Sri Lanka menjadi bukti bahwa pandemi panjang Covid-19 berlanjut ke krisis geopolitik di Ukraina, bisa membuat perekonomian sebuah negara babak belur.
Sri Lanka jatuh ke dalam krisis ekonomi yang akut. Setelah sektor pariwisatanya ambruk karena pandemi. Dan upaya pemulihan ekonominya terganggu. Antara lain oleh krisis pangan dan energi yang makin berat sebagai dampak serbuan Rusia ke Ukraina.
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa terpaksa mengundurkan diri dan menyingkir keluar negeri. Ia meninggalkan negerinya yang mengalami inflasi 50 persen, cadangan devisa yang hanya cukup untuk impor 7–8 pekan. Serta jaringan listrik yang byarpet karena ketiadaan bahan bakar untuk pembangkit listriknya.
Penerimaan negara Sri Lanka anjlok. Produksi pangan merosot karena pemerintah memaksakan pertanian organik tanpa pupuk. Harga pangan melonjak. BBM langka, dan nilai tukar Rupee ke USD terdepresiasi 50 persen.
Para analis ekonomi pun telah memperkirakan bahwa Sri Lanka akan menghadapi problem ekonomi serius. Survei Bloomberg pada Juni lalu, sebelum belitan ekonomi itu berubah menjadi krisis politik menduga bahwa negara tersebut akan mengalami problem berat.
Dalam survei Bloomberg itu, para analis hanya menyampaikan sejumlah indikator ekonomi makro dari berbagai negara dalam model statistik. Model Bloomberg itu kemudian memberikan angka peluang (probabilitas) kejadian pertumbuhan negatif pada produk domestik bruto (PDB) jangka dua kuartal. Atau lebih alias resesi pada 2023.
Hasilnya, model statistik itu menyebutkan bahwa dengan probabilitas 85 persen, Sri Lanka akan mengalami resesi pada 2023. Perkiraan resesi itu melonjak tinggi dari survei sebelumnya yang menyebut probabilitas 33 persen. Tapi, rupanya krisis politiknya mencapai puncaknya lebih cepat dan berujung pada pergantian pemerintahan di Sri Lanka.
Isu Sri Lanka itu tentu hanya satu bagian dari survei Bloomberg. Observasi lembaga keuangan dan media berskala global itu menyoroti negara-negara Asia dan Pasifik Barat, yang selama ini menunjukkan ketahanan ekonomi yang relatif lebih tangguh dalam menghadapi pandemi, inflasi global, dan guncangan geopolitik.
Ihwal hasil survei Bloomberg menjadi perhatian Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi persnya di Nusa Dua, Bali, pada Rabu, 13 Juli 2021. ”Indonesia termasuk daftar 15 negara yang berpotensi mengalami resesi berdasarkan survei Bloomberg,” ujarnya.
Menurut survei itu, kata Sri Mulyani, probabilitas terbesar yakni 85 persen adalah Sri Lanka. Posisi kedua, New Zealand dengan probabilitas 33 persen. Korea dan Jepang menyimpan risiko resesi dengan probabilitas masing-masing 25 persen. Itu lebih tinggi dari Tiongkok, Hongkong, Taiwan, Australia, dan Pakistan yang masing-masing 20 persen.
Negara jiran Malaysia memiliki peluang risiko resesi 13 persen. Thailand, Australia, dan Taiwan berpeluang 20 persen. Filipina 8 persen. “Indonesia pada peringkat 14 dengan probabilitas masuk krisis 3 persen. Yang terendah India nol persen,” kata Sri Mulyani.
Dia menambahkan, hasil survei tersebut menunjukkan indikator ekonomi Indonesia jauh lebih baik dari negara-negara lain yang peluang resesinya lebih tinggi. “Itu dapat menggambarkan bahwa dari indikator neraca pembayaran kita. APBN kita, ketahanan GDP kita, dan juga dari sisi korporasi maupun dari rumah tangga serta monetery policy kita. Relatif dalam situasi risikonya tiga persen dari negara lain yang potensi untuk bisa mengalami resesi jauh di atas kita,” ujar Sri Mulyani.
Kondisi Indonesia, berbeda dari Sri Lanka, sehingga risikonya resesinya jauh lebih rendah. Kendati demikian, Indonesia masih tetap harus waspada terhadap potensi resesi yang masih dapat terjadi. Pasalnya, saat ini negara-negara di dunia masih terbayangi hantu resesi dan kenaikan inflasi.
Sikap waspada ini menurut Menkeu, karena situasi rawan ini akan berlangsung sampai 2023. Risiko inflasi dan resesi, atau stagflasi sangat rill. Dan akan menjadi salah satu topik pembahasan di forum G20.
“Namun message-nya adalah kita tetap akan menggunakan semua instrumen kebijakan kita,” kata Menkeu Sri Mulyani. Dia menambahkan, sejak terjadi krisis ekonomi 2008–2009, sektor keuangan Indonesia menjadi jauh lebih hati-hati. Kini nonperforming loan (NPL) tetap terjaga serta eksposur pinjaman luar negeri turun.
“Artinya, belajar dari krisis global itu, sektor korporasi, financial, APBN, dan moneter, semuanya mencoba memperkuat diri untuk menghadapi risiko. Sekarang kita dalam situasi daya tahan masih lebih baik. Makanya kita disebut rating-nya lebih kecil,” katanya.
Secara umum, menurut survei Bloomberg, risiko resesi di Asia sebesar 20–25 persen, AS sekitar 38 persen, dan negara-negara Eropa 50–55 persen. Indikatornya, antara lain, jumlah izin bangunan baru, indeks kepercayaan konsumen, serta hasil bersih dari surat berharga yang dikeluarkan oleh negara.
Resesi adalah hal yang sering terjadi di dunia. Pada 2020, hampir semua negara di dunia mengalami resesi, termasuk Indonesia yang mengalami pertumbuhan PDB negara di kuartal II dan III. Perlu upaya ekstra keras untuk membalikkan keadaan menjadi positif. Tapi, rupanya dampak resesi dunia itu bisa berkepanjangan.