MATA INDONESIA, CANBERRA – Menteri Luar Negeri, Marise Payne mengatakan Australia resmi menangguhkan program kerja sama pertahanan dengan Myanmar, menyusul tindakan keras yang intensif yang dilakukan oleh junta militer maupun aparat kepolisian terhadap para demonstran.
Australia juga akan mengarahkan kebutuhan kemanusiaan segera kepada Rohingya dan etnis minoritas lainnya, kata Payne dalam sebuah pernyataan pada Minggu (7/3) malam waktu setempat.
“Kami akan memprioritaskan kebutuhan kemanusiaan dan yang paling mendesak dan berusaha memastikan keterlibatan kemanusiaan kami dengan dan melalui organisasi non-pemerintah, bukan dengan pemerintah atau entitas terkait pemerintah,” tegas Payne, melansir Reuters, Senin, 8 Maret 2021.
Hubungan pertahanan bilateral Australia dengan militer Myanmar dibatasi pada area non-pertempuran seperti pelatihan bahasa Inggris.
Selain menangguhkan program kerja sama pertahanan, Canberra juga akan terus menuntut pembebasan segera Sean Turnell –seorang ekonom dan penasihat pemimpin yang digulingkan, Aung San Suu Kyi. Sebagai informasi, Sean Turnell ditahan karena akses konsuler terbatas sejak kudeta yang terjadi pada awal Februari.
Sementara ratusan orang berkumpul di kota terbesar di Australia, Sydney selama akhir pekan, mendesak pemerintah Australia untuk mengambil sikap tegas terhadap kudeta di Myanmar yang telah menelan puluhan korban jiwa.
Negara Asia Tenggara itu telah jatuh dalam kekacauan setelah tentara mengambil alih kendali Myanmar dan menahan pemimpin de facto Myanmar yang juga merupakan peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi dan sejumlah pejabat dari partai yang berkuasa lainnya.
“Kami terus mendesak pasukan keamanan Myanmar untuk menahan diri dari kekerasan terhadap warga sipil,” ucap Payne.
Adapun Serikat Buruh Utama di Myanmar meminta anggotanya untuk menutup segala aktivitas ekonomi pada Senin (8/3) demi mendukung kampanye melawan kudeta awal Februari.
Hal ini diyakini akan meningkatkan tekanan pada junta militer Myanmar usai pasukannya menembakkan senjata dan menduduki rumah sakit di kota utama Yangon, setelah seharian melakukan protes besar-besaran.
Beberapa negara Barat, seperti AS, Kanada, Inggris, dan Uni Eropa telah mengeluarkan sanksi baru setelah kudeta dan tindakan keras junta militer yang mematikan terhadap para demonstran.
Adapun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan pada Kamis (4/3) bahwa sedikitnya 54 orang meninggal dunia sejak kudeta dan lebih dari 1.700 orang telah ditangkap, di mana sebanyak 29 orang merupakan wartawan.