MATA INDONESIA, NAYPYIDAW – Aktivis pro-demokrasi Myanmar melayangkan kritik tajam terkait kesepakatan antara kepala junta militer dan para pemimpin Asia Tenggara. Para aktivis pro-demokrasi pun bertekad untuk melanjutkan protes.
Beberapa protes damai yang tersebar terjadi di kota-kota besar Myanmar pada Minggu (25/4), sehari setelah pertemuan ASEAN di Jakarta yang turut dihadir oleh pemimpin junta militer, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.
Pada pertemuan internasional pertamanya, Jenderal Senior Min Aung Hlaing berjanji mengakhiri gejolak protes di Myanmar. Akan tetapi, pemimpin junta militer yang menyingkirkan pemerintah terpilih itu tidak secara eksplisit menanggapi tuntutan untuk menghentikan pembunuhan terhadap para pengunjuk rasa.
“Apakah itu ASEAN atau PBB, mereka hanya akan berbicara dari luar dengan mengatakan jangan melawan tetapi negosiasikan dan selesaikan masalah. Tapi itu tidak mencerminkan situasi dasar Myanmar,” kata Khin Sandar.
“Kami akan melanjutkan protes. Kami memiliki rencana untuk melakukannya,” tegas Khin Sandar yang merupakan kelompok protes yang disebut Kolaborasi Pemogokan Umum, melansir Reuters, Minggu, 25 April 2021.
Menurut pernyataan ketua ASEAN Brunei, terdapat lima konsensus yang berhasil dicapai pada pertemuan di Jakarta, yakni: mengakhiri kekerasan, dialog konstruktif di antara semua pihak, utusan khusus ASEAN untuk memfasilitasi dialog, penerimaan bantuan, serta kunjungan utusan ke Myanmar.
Para pemimpin ASEAN menginginkan komitmen dari Min Aung Hlaing untuk menahan pasukan keamanannya, yang menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) telah menewaskan 748 orang sejak gerakan pembangkangan sipil massal meletus untuk menantang kudeta dan menangkap lebih dari 3,300 massa pro demokrasi ditahan.
“Kami menyadari bahwa apapun hasil dari pertemuan ASEAN, itu tidak akan mencerminkan apa yang diinginkan masyarakat. Kami akan terus melakukan protes dan pemogokan sampai rezim militer benar-benar gagal,” kata Wai Aung, seorang penyelenggara protes di Kota Yangon.
“Pernyataan ASEAN adalah tamparan di wajah orang-orang yang dianiaya, dibunuh, dan diteror oleh militer. Kami tidak membutuhkan bantuan Anda dengan pola pikir dan pendekatan itu,” tegas seorang pengguna Facebook bernama Mawchi Tun.