AS Umumkan Kasus Pertama Flu Burung pada Manusia

Baca Juga

MATA INDONESIA, COLORADO – Virus flu burung akhirnya menyasar manusia. Kasus pertama flu burung H5 di Amerika Serikat muncul pada seseorang di Colorado.

Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) pada Jumat 29 April 2022 menyebutkan orang tersebut terbukti positif virus flu burung A(H5) dan terlibat dalam pemusnahan unggas yang terinfeksi flu burung H5N1.

”Kasus ini tidak mengubah penilaian risiko manusia bagi masyarakat umum,” kata badan tersebut.

Pasien itu kabarnya kelelahan selama beberapa hari sebagai satu-satunya gejala. CDC menambahkan bahwa orang tersebut kini menjalani isolasi dan mendapatkan obat antivirus influenza oseltamivir.

Virus H5N1 muncul pertama kali pada unggas komersial AS dan unggas pekarangan di 29 negara bagian dan burung liar di 34 negara. CDC mulai memantau penyakit tersebut di kalangan orang-orang yang terpapar virus pada akhir 2021.

”CDC telah melacak kesehatan lebih dari 2.500 orang yang diduga terpapar virus flu burung H5N1. Dan ini satu-satunya kasus yang ditemukan hingga kini. Orang lainnya yang terlibat dalam operasi pemusnahan di Colorado terbukti negatif infeksi virus H5. Namun mereka dilakukan tes ulang sebagai langkah antisipasi,” kata CDC.

Secara global ini adalah kasus manusia kedua yang berhubungan dengan kelompok spesifik virus H5 yang kini mendominasi, katanya. Sebelumnya kasus pertama dilaporkan di Inggris pada Desember 2021.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini