MATA INDONESIA, NAYPYIDAW – Upaya militer Myanmar untuk mengakhiri perbedaan pendapat beralih ke dunia maya dengan pemblokiran internet dan surat perintah penangkapan bagi para kritikus online yang terus melakukan demonstrasi dalam melawan penindasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan.
Kelompok Advokasi Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik atau Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) melaporkan bahwa pasukan keamanan telah menewaskan 550 warga sipil sejak awal Februari. Sebanyak 46 korban merupakan anak-anak.
Sejak junta militer Myanmar menggulingkan pemerintah terpilih yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, aparat keamanan tanpa segan melakukan tindakan represif kepada para demonstran.
Amnesty Internasional mengungkapkan bahwa aparat keamanan bahkan menggunakan senjata perang dan kekuatan maksimal dalam tindakan kerasnya. Mereka berdalih, apa yang mereka lakukan adalah demi menjaga stabilitas keamanan di Myanmar.
Terlepas dari penindasan yang dilakukan oleh aparat keamanan, para penentang kudeta setiap hari di kota-kota besar dan kecil di seluruh negeri, mengadakan apa yang mereka sebut sebagai “demonstrasi gerilya”.
“Apakah surat perintah telah dikeluarkan atau tidak, selama saya masih hidup, saya akan menentang kediktatoran militer yang menindas dan membunuh orang. Revolusi harus menang,” tulis Paing Phyoe Thu dalam akun Facebook-nya, melansir Reuters, Sabtu, 3 April 2021.
Paing Phyoe Thu yang merupakan seorang artis di Myanmar secara teratur menghadiri aksi unjuk rasa di kota utama Yangon setelah kudeta. Suaminya, sutradara film, Na Gyi, telah dicari oleh pihak berwenang di bawah hukum yang sama sejak Februari.
Keberadaannya tidak segera diketahui dan tidak jelas bagaimana dia bisa memposting pesannya. Paing Phyoe Thu terancam hukuman penjara tiga tahun, apabila pengadilan di Myanmar memutuskannya bersalah.
Layanan internet nirkabel Myanmar diputus atas perintah junta militer. Akses internet itu diputus usai pengunjuk rasa terus menentang ancaman kekerasan mematikan untuk menentang pengambilalihan junta.
Seperti dilansir The Associated Press, Jumat (2/4/2021) diketahui arahan tersebut disampaikan Kementerian Transportasi dan Komunikasi pada hari Kamis (1/4). Menurut pernyataan yang diposting oleh penyedia internet lokal, Ooredo, Kementerian tersebut menginstruksikan bahwa ‘semua layanan internet nirkabel untuk sementara ditangguhkan hingga pemberitahuan lebih lanjut’.
Setelah beberapa pekan pemutusan akses internet di waktu malam, pada Jumat (2/4) militer menutup semua tautan link selain yang menggunakan kabel serat optik, yang kecepatannya secara drastis lebih lambat. Akses ke jaringan seluler dan semua nirkabel – opsi yang lebih murah yang digunakan oleh kebanyakan orang di negara berkembang – diblokir.
Perusahaan telekomunikasi Norwegia, Telenor, salah satu operator terbesar di Myanmar, mengonfirmasi tidak dapat lagi menawarkan layanan nirkabel.