MATA INDONESIA, JAKARTA – Sejumlah anak muda di kota terbesar Myanmar menggelar aksi pawai atau flarmop singkat untuk menentang kekuasaan militer. Aksi flarmop merupakan yang terbaru dari serangkaian protes antikudeta tanpa menjadi korban kekerasan aparat keamanan negara tersebut.
Dalam protes yang berlangsung selama lima menit di kota Yangon, sekitar 70 demonstran meneriakkan slogan-slogan untuk mendukung gerakan pembangkangan sipil yang menentang kudeta militer yang menggulingkan pemerintahan terpilih, Aung San Suu Kyi.
Para pemuda tersebut kemudian berpencar ke kerumunan pusat kota Myanmar.
Protes juga terjadi di kota-kota lain termasuk Mandalay –kota terbesar kedua di Myanmar. Di mana para demonstran termasuk insinyur, guru, mahasiswa, dan anggota kelompok LGBT turun ke jalan.
Sementara demonstran di Dawei, Myanmar merobek dan membakar buku teks ketika mereka menyerukan boikot sekolah, yang akan segera dibuka setelah penutupan yang lama karena pandemi virus corona.
Di daerah lain, aksi damai dibubarkan secara paksa oleh aparat keamanan Myanmar. Sedangkan di beberapa daerah terpencil, kelompok-kelompok yang menentang junta yang berkuasa menyerang pasukan keamanan, yang menyebabkan bentrokan berdarah.
Kelompok Advokasi Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik atau Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) melaporkan sebanyak 769 pengunjuk rasa tewas di tangan aparat keamanan Myanmar sejak pengambilalihan kekuasaan pada awal Februari.
Junta militer Myanmar berdalih, penggunaan kekuatan mematikan dibenarkan untuk mengakhiri apa yang disebut kerusuhan. Sikap ini menuai kritik dan kecaman banyak negara di dunia.
Sebagai langkah melawan kekuatan militer Myanmar, pemerintah tandingan, Persatuan Pemerintah Nasional (NUG), membentuk sayap militer. Rencana tersebut diumumkan oleh wakil menteri pertahanan bayangan NUG, Khin Ma Ma Myo.
Khin Ma May Myo mengatakan salah satu tugas dari Tentara Nasional adalah melindungi gerakan perlawanan negara dari serangan militer dan kekerasan yang dipicu oleh junta militer Myanmar.
Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar mendapat dukungan dari beberapa kelompok etnis minoritas utama yang selama beberapa dekade telah mengupayakan otonomi yang lebih besar dan yang mempertahankan kekuatan gerilya mereka sendiri.
Kelompok Kachin di utara dan Karen di timur adalah yang paling penting dan keduanya secara aktif terlibat dalam pertempuran dengan pasukan militer pemerintah. Pado Man Man, juru bicara Brigade ke-5 Persatuan Nasional Karen, mengatakan, pembentukan Tentara Pertahanan Rakyat akan menjadi langkah menuju negara masa depan yang mencakup semua kelompok etnis bersenjata.
“Munculnya Tentara Pertahanan Rakyat sedikit terlambat. Kami memiliki arah dan tujuan yang sama. Kami sekarang bekerja sama, ”kata Jubir Brigade Persatuan Nasional Karen, Pado Man Man, melansir AP News.
Sejak perebutan kekuasaan oleh militer Myanmar dan tindakan keras terhadap para demonstran pro demokrasi, mahasiswa dan pekerja pabrik telah melarikan diri ke wilayah yang dikuasai oleh pasukan gerilya etnis untuk mengikuti pelatihan militer.