MATA INDONESIA, JAKARTA – Para mahasiswa berencana untuk kembali menggelar aksi unjuk rasa menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja pada Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2020 mendatang. Rencana tersebut pun ditanggapi oleh Pengamat Politik Boni Hargens.
Ia mengatakan, aksi demo adalah bagian dari partisipasi politik dalam demokrasi. Namun, sebaiknya menghindari anarkisme seperti yang sudah terjadi pada tanggal 8 Oktober dan 13 Oktober lalu.
“Semua itu tidak mencerminkan kedewasaan dalam berdemokrasi dan hanya merusak citra kaum muda sendiri,” ujarnya kepada Mata Indonesia, Senin 26 Oktober 2020.
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) tersebut juga menjelaskan bahwa setiap zaman memiliki tantangannya sendiri. Misalnya, para pemuda sebelum dekade 1940-an tentu berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme asing. Namun para pemuda di zaman sekarang harus berjuang melawan musuh yang lebih banyak.
Musuh itu bisa datang dari dalam dan bisa dari luar. Musuh dari dalam misalnya terorisme, radikalisme dan separatisme. Musuh dari luar ada yang kelihatan dan ada yang tidak kelihatan. Jaringan terorisme itu berbasis internasional adalah contoh musuh yang kelihatan.
“Dominasi pasar dan penguasaan infrastruktur digital seperti Over The Top (OTT) masih dihantui kekuatan asing. Kita bisa menyebutnya “kolonialisme digital” di jaman modern. Tetapi itulah contoh tantangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia hari ini dan di masa depan,” katanya.
Ia pun menghimbau kepada kaum muda dan mahasiswa agar menempa diri menjadi pribadi yang tangguh dan siap menghadapi perkembangan era kekinian. Kaum muda harus berjuang mengembangkan potensi dan kompetensi di bidang keilmuan dan keterampilan. Begitulah cara kita mengisi kemerdekaan dan ‘menjadi Indonesia’ di zaman modern.
“Hindari berbagai provokasi politik dan hasutan untuk melakukan anarkisme dalam menyampaikan pendapat di ruang publik. Hindari kebiasaan hoaks dalam berpendapat di dunia maya. Generasi muda harus menjadi yang terdepan dalam membangun narasi positif dan rasional di ruang publik,” ujar Lulusan Universitas Walden Amerika Serikat tersebut.
Boni juga mengingatkan para ormas dan kelompok oposisi jalanan seperti Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) agar menghimbau para anggota dan simpatisannya untuk melakukan peringatan sumpah pemuda dengan cara yang lebih elegan dan tidak mengganggu kepentingan umum.
“Kalau memang betul ada agenda turun ke jalan pada 28 Oktober 2020, rancanglah suatu aksi protes yang lebih cerdas dan damai, bukan aksi brutal dan anarkis. Tunjukkan bahwa KAMI benar-benar ingin mengambil bagian di dalam proyek membangun bangsa dan negara meski melalui jalan yang berbeda,” katanya.
Ia mengatakan, perbedaan adalah hal yang normal, tetapi menabrak norma dan hukum yang berlaku agar kelihatan ‘berbeda’ itu tidak normal. Pemerintahan dalam sistem demokrasi membutuhkan kritik dan evaluasi dari oposisi.
“Maka, peran masyarakat sipil harus menonjol dalam memberikan evaluasi, tetapi dengan cara-cara yang tidak melawan hukum supaya tidak kontraproduktif,” ujarnya.