MATA INDONESIA, JAKARTA – Menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite, pertamax dan biosolar adalah hal yang harus dilakukan atau take for granted.
“Mengapa demikian, karena harga minyak mentah di pasar dunia sudah di atas 100 dolar AS per barel, sehingga melebihi harga asumsi yang ditetapkan di dalam APBN tahun 2022 sebesar 63 dolar AS per barel,” ujar pengajar Kajian Strategis Intelijen Universitas Indonesia, Sundawan Salya, Selasa 6 September 2022.
Besarnya disparitas (perbedaan-red) harga asumsi APBN 2022 dengan harga pasar dunia tersebut, menurut Sundawan, bukan merupakan kelalaian Pemerintah.
“Tetapi lebih disebabkan oleh cepatnya perubahan atau dinamika konstelasi global sebagai akibat dari berbagai konflik kepentingan negara-negara di tataran lingkungan strategis global,” kata Sundawan.
Jika Pemerintah Indonesia tidak merespon kenaikan harga pasar dunia tersebut dengan tidak merubah asumsi harga di dalam APBN 2022, menurut pengajar di Sekolah Tinggi Intelijen Negara tersebut, dipastikan sangat membebani struktur APBN 2022.
Selain itu, menurutnya, akan memicu inflasi yang bisa melebihi batas psikologi yaitu 3 persen.
Hal tersebut, dalam penilaian Sundawan, justru dapat membahayakan stabilitas ekonomi, politik dan keamanan nasional.
Selain itu, Sundawan berpandangan, akan lebih menyulitkan masyarakat.
Oleh karena itu, dia menilai, keputusan menaikan harga BBM dan menyalurkan subsidi melalui bantalan sosial sebesar Rp 24, 17 Triliun, merupakan pilihan taktis dan strategis yang tepat.
Sebab, menurut Sundawan, dengan menetapkan kenaikan harga tiga jenis BBM tersebut, pemerintah sedang melakukan judgement dengan mengkoreksi keputusan sebelumnya yang termuat di dalam APBN tahun 2022 tentang asumsi harga BBM.
Kebijakan itu, menurutnya, sekaligus melakukan problem solving untuk meringankan beban APBN tahun 2023 dari subsidi yang senantiasa menjadi beban bagi negara dan agar bisa menyangga daya beli masyarakat setidaknya selama kuartal ke-II 2022.
Dari persepektif Intelijen Strategis, Politik, Ekonomi dan Sumber Daya Alam (SDA), menurut Sundawan, BBM merupakan komponen Strategis yang setiap saat bersentuhan dengan kepentingan masyarakat.
Maka, setiap pengambilan keputusan yang menyentuh komponen tersebut, menurut Sundawan, dapat dipastikan memunculkan respon instan yang terkadang dalam bentuk yang tidak bisa diduga, bisa dalam bentuk aksi massa.
Selain itu, melalui opini-opini negatif yang mengarah kepada bentuk propaganda sebagai bentuk/upaya distrust of government.
Maka, Sundawan menilai, diperlukan pendekatan yang holistik, termasuk pada sistem Intelijen dengan menempatkan pendekatan Ekonomi-politik sebagai jangkar untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Pernyataan-pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara, Jenderal Budi Gunawan yang sederhana mudah dipahami masyarakat, dengan menekankan kepada pentingnya Fokus Lindungi Masyarakat Terbawah, menurutnya, adalah cerminan pendekatan Ekonomi-Politik yang dijalankan oleh Sistem Intelijen dengan mengangkat pentingnya human security sebagai basis bagi penguatan ketahanan nasional.
Namun dari keramaian isu kenaikan harga BBM ini, Sundawan menyatakan, perlu upaya memitigasi komponen strategis sumber daya alam penting dilakukan sebagai bagian dari foresight.
Pertanyaannya, menurut Sundawan, apakah Indonesia harus tergantung seterusnya dari BBM yang tidak dapat diperbaharui.
Apakah sudah saatnya beralih ke Bahan Bakar Nuklir, Thorium atau yang lainnya yang bersifat terbarukan.