Mata Indonesia, Yogyakarta – September Hitam sempat menjadi sorotan beberapa hari belakangan. Istilah yang berkaitan dengan pelanggaran HAM ini menjurus pada fenomena yang kerap terjadi kekerasan aktivis hingga masyarakat di bulan September.
Seperti kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yang terjadi sekitaran awal September. Hingga pelanggaran HAM oleh aparat saat demonstrasi UU Cipta Kerja di bulan September pada 2019.
Di Jogja sendiri, meski tidak tepat pada bulan September, pelanggaran HAM berat pernah dialami wartawan Koran Bernas, Fuad Muhammad Syarifuddin atau Udin.
Kematiannya yang diduga karena dibunuh terjadi pada 16 Agustus 1996 dan kasus terus dikawal hingga September dengan mengerucut ke sejumlah dalang di balik kematian jurnalis tersebut.
Pelaku pembunuhan sudah ditangkap, nama yang mencuat adalah nama seorang sopir di perusahaan iklan bernama Dwi Sumaji alias Iwik. Namun pada 1997, Iwik divonis bebas oleh Majelis Hakim karena tak adanya bukti kuat.
Nama besar yang dituding menjadi dalang kematian pun terseret. Sri Roso yang merupakan petahana Bupati Bantul periode 1991-1996 disebut-sebut terlibat dalam pembunuhan itu.
Bukan tanpa alasan, Udin tewas usai memberitakan boroknya pemerintahan Bantul kala dijabat Sri Roso. Di penghujung jabatannya, Sri Roso kembali maju di Pilkada Bantul 1996-2001. Padahal Sri Roso akan dipindahtugaskan ke daerah lain, tapi justru sebaliknya.
Puncaknya, adalah berita dugaan korupsi Pemkab Bantul terkait pengerjaan pembangunan jalan, di mana dari 2 kilometer pengajuan pembangunan hanya diselesaikan 1,2 kilometer. Nama Sri Roso ikut terseret karena menjabat Bupati kala itu.
Kawal Korban Kekerasan justru Jadi Tersangka
Beranjak ke tahun 2024, kasus pelanggaran HAM juga dialami seorang advokat dari LBH Jogja-YLBHI. Meski tak sampai merenggut nyawa, Meila Nurul Fajriah justru dijadikan tersangka.
Perempuan yang mengawal kasus dugaan kekerasan seksual yang dialami para mahasiswi di salah satu Universitas di Jogja, malah diubah statusnya menjadi tersangka oleh Polda DIY.
Meila dituduh mencemarkan nama baik (Pasal 27 ayat 3 dan Pasar 45 UU ITE) ke seorang terduga pelaku berinisial IM yang melakukan kekerasan seksual para mahasiswi tersebut.
Desakan dari masyarakat, aktivis HAM termasuk pemerhati hukum akhirnya membuahkan hasil. Polda DIY mencabut atau mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Meila yang sebelumnya berstatus tersangka.
Kasus yang berkaitan dengan pelanggaran HAM, diyakini akan selalu muncul meski pemimpin dan kepala daerah berganti ke depan. Masyarakat juga tak menutup mata terhadap polemik yang terjadi pada kasus-kasus ini.
Mariska, salah satu warga Jogja yang juga pekerja di DIY mengaku bahwa pelanggaran HAM nyaris tak pernah selesai dan kerap memuai karena tak diseriusi oleh pihak berwenang.
Meski begitu, baginya sejauh masyarakat memiliki empati dengan hak-haknya sebagai manusia, desakan untuk meminta keadilan bisa terus diperjuangkan.
“Intinya kalau HAM itu kan berkaitan dengan hak kita. Ya itu harus terus digaungkan, apalagi kalau kita yang jadi korban atau yang tertindas,” ungkap dia.
Lembaga-lembaga seperti LBH, LPSK yang berkembang saat ini menjadi tangan panjang masyarakat tertindas untuk meminta keadilan. Mariska cukup bersyukur masyarakat masih memiliki rasa kemanusiaan untuk terus menjadi manusia.
Sementara Bayu Laksono, tak begitu aware dengan isu HAM yang terjadi di Indonesia. Pasalnya, pihak berwenang kerap menjadi batu besar yang menyulitkan warga mendapat keadilan.
Namun ia tak menutup mata bahwa kasus kekerasan yang merenggut hak-hak warga, termasuk hak warga untuk berbicara harus terus didengungkan.
“Kalau putus asa bisa jadi begitu (penyelesaian kasus HAM), tapi saya yakin ada hal baik yang bisa kita dapatkan lagi. Yang jelas harus terus disuarakan kasus-kasus itu,” tambah dia.
September Hitam barangmungkin menjadi istilah yang akan terus menggema di tahun-tahun selanjutnya. Kasus kekerasan yang tak selesai seperti contoh kasus Udin, bahkan Munir sekalipun, menjadi pengingat kita bahwa demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya utuh.
Maka, warga memiliki hak kuat untuk terus mendesak pemerintah dan pihak-pihak yang terikat untuk menyelesaikan polemik serta pelanggaran-pelanggaran HAM yang belum tuntas.