Melawan Lupa di Langgeng Art Yogyakarta: Menggugat Negara Melalui Arsip dan Seni

Baca Juga

Mata Indonesia, Yogyakarta – Langgeng Art Foundation (LAF) Yogyakarta menggelar Pameran Seni dan Arsip yang mencakup fotografi, diskusi publik, serta performance art pada Selasa–Rabu, 17–18 Desember 2025.

Kegiatan ini menjadi ruang dialog kritis untuk membaca ulang sejarah kekerasan negara, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, sekaligus memperkuat kesadaran publik akan pentingnya ingatan kolektif.

Perwakilan LAF, Julian Dwi Prasetia, menjelaskan bahwa pameran ini berangkat dari pemahaman bahwa sebuah republik tidak runtuh karena serangan dari luar, melainkan ketika negara gagal mengingat dan mengakui kekerasan yang pernah—dan masih—dialami warganya. Hilangnya ingatan sejarah, menurutnya, merupakan ancaman serius bagi keberlanjutan demokrasi.

“Ketika hukum berubah menjadi alat pembenaran penindasan dan warga kehilangan hak atas ingatan, maka demokrasi berada di titik rapuh. Karena itu, pameran ini tidak dirancang sebagai agenda nostalgia semata, melainkan sebagai upaya merebut kembali ingatan dari dominasi kekuasaan dan mengembalikannya kepada masyarakat sebagai pemilik sah sejarah,” kata Julian.

Pameran ini mengangkat tujuh tema utama, antara lain: legitimasi kekerasan melalui hukum, kebenaran yang dipertaruhkan, konflik atas tanah dan ruang hidup, penyimpangan hukum, nilai keadilan sebagai fondasi moral, korban tanpa identitas, serta ingatan sebagai bentuk perlawanan.

Melalui karya seni, arsip sejarah, diskusi, dan ekspresi publik, kegiatan ini menegaskan hak warga negara untuk mengkritik negara serta mengingatkan bahwa sejarah tidak boleh dihapus atau disenyapkan.

Sementara itu, Ita Fatia Nadia dari Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan Indonesia menyoroti peran penting arsip seni dalam perjuangan demokrasi. Ia berbagi pengalamannya menelusuri koleksi di International Institute of Social History (IISH), Amsterdam, yang menyimpan berbagai karya seniman dan aktivis Indonesia yang terpinggirkan dari narasi sejarah resmi.

Menurut Ita, pada masa perjuangan bangsa, seni berfungsi sebagai medium ideologis untuk mendorong pembebasan nasional, solidaritas internasional, dan keadilan sosial.

“Ironisnya, banyak arsip penting tersebut justru tersimpan di luar negeri dan terputus dari ingatan kolektif masyarakat Indonesia,” ungkap dia.

Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya menghidupkan kembali arsip dan karya seni sebagai bagian dari gerakan sosial dan pendidikan politik rakyat, guna melawan ketidakadilan, militerisme, dan kecenderungan fasisme yang masih membayangi demokrasi.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur, turut mengaitkan praktik represi masa lalu dengan pola penindasan kontemporer yang kini memanfaatkan teknologi digital, seperti peretasan, doxing, serta pelemahan institusi demokrasi.

Isnur menegaskan bahwa perlawanan tidak boleh berhenti pada simbolisme, tetapi harus menjangkau ruang publik yang lebih luas melalui penguatan aliansi dan pendidikan rakyat.

“Sehingga seni, literasi hukum, dan diskusi kritis harus hadir di berbagai ruang sosial agar narasi kekuasaan dapat ditantang dan kesadaran kolektif masyarakat terus dibangun,” ujar Isnur

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Percepatan Pembangunan Papua Diperkuat Melalui Sinergi Pusat dan Daerah

Mata Indonesia, JAKARTA - Percepatan pembangunan Papua kembali ditegaskan sebagai agenda strategis nasional. Arahan Presiden kepada kepala daerah se-Tanah...
- Advertisement -

Baca berita yang ini