Waspada Penyebaran Radikalisme di Era Media Sosial

Baca Juga

Oleh : Andika Rachman

Media sosial telah menjadi platform utama untuk berinteraksi, berbagi informasi, dan mengakses berbagai konten. Namun, kemudahan dan kecepatan akses ini juga membuka celah bagi penyebaran ideologi ekstrem dan radikalis. Radikalisme, yang merupakan pandangan ekstrem yang mengarah pada tindakan kekerasan atau terorisme, kini semakin mudah menyebar melalui media sosial.

Media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan platform video seperti YouTube, memberikan ruang yang luas bagi individu dan kelompok untuk menyebarluaskan ideologi mereka. Kemudahan dalam membuat akun dan berbagi konten memungkinkan penyebaran pesan radikal dengan cepat dan luas yang juga dapat memungkinkan pengguna untuk menyembunyikan identitas asli mereka atau menggunakan identitas palsu. Tentunya arus ini memudahkan penyebaran pesan radikal tanpa terdeteksi.

Informasi di media sosial menyebar dengan sangat cepat. Sekali sebuah pesan radikal terpublikasi hingga dapat mencapai ribuan orang melihat dan membaca dalam waktu yang sangat singkat, termasuk individu yang rentan terhadap ideologi ekstrem.

Seluruh instansi Pemerintah terus bekerjasama dalam menangkal aksi penyebaran radikalisme. Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri meminta masyarakat Indonesia mewaspadai paparan radikalisme dan terorisme di media sosial (medsos) hingga menangkap tiga tersangka teroris yang terpapar radikalisme melalui media sosial baru-baru ini.

Juru bicara Densus 88 Antiteror Polri, Kombes Aswin Siregar mengatakan penting untuk seluruh masyarakat melaporakan apabila mengetahui atau menemukan tindakan yang mengarah kepada penyebaran paham radikalisme seperti menyebarkan bahan-bahan propaganda Daulah Islamiyah atau Islamic State ataupun kelompok-kelompok teror jaringan lainnya. Hal ini merupakan salah satu upaya mencegah tindakan radikalisme dan terorisme sedini mungkin.

Aspek doktrin dan pemahaman pribadi sering disalahgunakan oleh kelompok ekstrem, di media sosial sangat memungkinkan untuk kelompok-kelompok radikalisme dan terorisme menyembunyikan jejaknya dengan komunikasi peer to peer tanpa terdeteksi.

Pesan-pesan radikal sering kali mengandung unsur kebencian dan permusuhan terhadap kelompok tertentu yang dapat memperburuk polarisasi sosial, menciptakan ketegangan antar kelompok, dan merusak kohesi sosial. Kelompok ekstrem dapat menggunakan media sosial untuk merekrut anggota baru dan sering menargetkan individu yang merasa terpinggirkan atau frustrasi dengan kondisi sosial dan ekonominya, menawarkan ideologi ekstrem sebagai solusi.

Generasi muda yang sangat aktif di media sosial lebih rentan terhadap pengaruh radikal. Paparan terhadap konten ekstrem sejak dini dapat memengaruhi pandangan dunia dan meningkatkan risiko terlibat dalam aktivitas radikal. Dalam kasus yang lebih ekstrem, ideologi radikal yang disebarkan melalui media sosial dapat mengarah pada tindakan kekerasan atau terorisme. Individu yang terpengaruh oleh ideologi ekstrem dapat melakukan serangan fisik atau terlibat dalam aktivitas terorisme.

Selain generasi muda, para pekerja di instansi pemerintah maupun swasta harus paham dan waspada dengan penyebaran paham radikalisme, terorisme dan intoleransi di lingkungan kerja. Kewaspadaan ini penting agar masyarakat, terutama pegawai, memiliki imunitas dalam menangkal penyebaran paham-paham tersebut.

Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Mayjen TNI Roedy Widodo mengatakan seluruh pekerja patut mewaspadai pola-pola rekrutmen yang dilakukan kelompol radikal terorisme sebagai upaya menangkal paham ataupun bahaya intoleransi, radikalisme dan terorisme dari awal. Sebab kelompok-kelompok merekrut anggotanya tidak lagi bertemu langsung, namun sudah memanfaatkan teknologi digital atau internet dengan menggunakan media sosial seperti WhatsApp, Telegram dan sebagainya. Terutama terhadap tiga kelompok rentan yaitu perempuan, remaja dan anak anak.

Penting untuk mencegah penyebaran radikalisme di media sosial dengan meningkatkan literasi media di kalangan pengguna internet. Pengguna perlu dilatih untuk mengenali dan memahami konten yang mungkin mengandung unsur radikal atau ekstrem. Platform media sosial harus melakukan moderasi ketat terhadap konten yang melanggar kebijakan. Pengawasan aktif terhadap konten yang mengandung ujaran kebencian atau ajakan kekerasan dapat mengurangi penyebaran ideologi radikal.

Membangun komunitas yang inklusif dan suportif dapat mengurangi ketergantungan individu pada ideologi ekstrem. Program-program komunitas yang menawarkan dukungan dan kesempatan bagi individu yang merasa terpinggirkan dapat mengurangi kerentanan terhadap radikalisasi serta pengguna media sosial harus didorong untuk melaporkan konten yang mencurigakan atau berbahaya. Platform media sosial pun harus memiliki mekanisme pelaporan yang efektif dan menindaklanjuti laporan tersebut secara serius.

Namun, di tengah meningkatnya kewaspadaan nasional terhadap ancaman radikalisme, Densus 88 Polri melaporkan adanya penurunan signifikan dalam penyebaran paham radikal dan intoleransi di wilayah Sumatera Selatan (Sumsel).

Ketua Tim Pencegahan Satgas Wilayah Sumatra Densus 88 Polri, Iptu Marsan Saputra mengatakan bahwa penurunan ini tidak boleh menjadi alasan untuk masyarakat lengah, dimana radikalisme dan intoleransi tidak hanya merusak individu, tetapi juga dapat mengancam persatuan dan keberagaman yang menjadi kekuatan Indonesia.

Untuk mengatasi ancaman ini, Densus 88 tidak hanya mengandalkan penegakan hukum, tetapi juga berupaya menguasai ruang-ruang digital dengan konten-konten yang mempromosikan toleransi, keberagaman, dan cinta tanah air.

Penyebaran radikalisme di media sosial adalah tantangan serius di era digital ini. Dengan memahami cara penyebaran ideologi ekstrem dan dampaknya, serta menerapkan langkah-langkah pencegahan yang efektif, kita dapat bekerja sama untuk mengurangi risiko radikalisasi dan melindungi masyarakat dari pengaruh berbahaya. Media sosial, meskipun merupakan alat yang kuat untuk komunikasi dan informasi, memerlukan tanggung jawab dan kewaspadaan untuk memastikan bahwa ia digunakan untuk tujuan positif dan membangun.

)* Mahasiswa Univ. Jakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Judi Daring Ancam Ekonomi Keluarga: Saatnya Literasi dan Kolaborasi Jadi Senjata

Oleh: Ratna Soemirat* Fenomena judi daring (online) kini menjadi salah satu ancaman paling serius terhadap stabilitassosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Di tengah kemajuan teknologi digital yang membawakemudahan hidup, muncul sisi gelap yang perlahan menggerogoti ketahanan keluarga dan moral generasi muda. Dengan hanya bermodalkan ponsel pintar dan akses internet, siapa pun kini bisaterjerumus dalam praktik perjudian digital yang masif, sistematis, dan sulit diawasi. Pakar Ekonomi Syariah dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Satria Utama, menilai bahwa judi daring memiliki daya rusak yang jauh lebih besar dibandingkan bentukperjudian konvensional. Menurutnya, sasaran utama dari perjudian daring justru kelompokmasyarakat yang secara ekonomi tergolong rentan. Dampaknya langsung terlihat pada polakonsumsi rumah tangga yang mulai bergeser secara drastis. Banyak keluarga yang awalnyamampu mengatur pengeluaran dengan baik, kini harus kehilangan kendali keuangan karenasebagian besar pendapatan mereka dialihkan untuk memasang taruhan. Satria menjelaskan, dalam beberapa kasus, bahkan dana bantuan sosial (bansos) yang seharusnyadigunakan untuk kebutuhan pokok keluarga justru dihabiskan untuk berjudi. Hal ini, katanya, bukan lagi sekadar persoalan individu, melainkan ancaman nyata terhadap ketahanan ekonominasional. Ia menegaskan, ketika uang yang seharusnya digunakan untuk makan, biaya sekolahanak, atau keperluan kesehatan malah dipakai untuk berjudi, maka kerusakannya meluas hinggapada tingkat sosial yang lebih besar. Masalah ini juga diperparah dengan munculnya fenomena gali lubang tutup lubang melaluipinjaman online (pinjol). Banyak pelaku judi daring yang akhirnya terjebak utang karena tidakmampu menutup kerugian taruhan. Satria menilai bahwa bunga pinjol yang tinggi justrumemperparah keadaan dan menjerumuskan pelakunya ke dalam lingkaran utang yang sulitdiakhiri. Dalam banyak kasus, kondisi ini menyebabkan kehancuran rumah tangga, konflikkeluarga, hingga perceraian. Efek domino judi daring, katanya, sangat luas dan tidak hanyamerugikan pelakunya saja. Selain aspek ekonomi, Satria juga menyoroti persoalan perilaku konsumsi yang tidak rasional di kalangan masyarakat. Ia menilai bahwa budaya konsumtif yang tinggi membuat masyarakatlebih mudah tergoda dengan janji palsu “cepat kaya” yang ditawarkan oleh situs judi daring. Contohnya, jika seseorang rela mengeluarkan uang untuk rokok meski kebutuhan rumah tanggaterbengkalai, maka godaan berjudi dengan iming-iming hasil instan menjadi semakin kuat. Menurutnya, perubahan pola pikir masyarakat menjadi kunci utama untuk membentengi diri daribahaya ini. Lebih jauh, Satria menegaskan bahwa penanganan judi daring tidak cukup hanya denganpendekatan represif, seperti pemblokiran situs atau razia siber. Ia menilai langkah tersebutmemang penting, tetapi tidak akan menyelesaikan akar masalah tanpa adanya peningkatanliterasi ekonomi dan kesadaran digital masyarakat. “Permintaan terhadap judi daring itu besar, sehingga selama ada permintaan, pasokan akan terus bermunculan,” ujarnya dalam wawancara. Pemerintah, katanya, harus berani menyentuh aspek edukasi publik dengan memperkuat literasidigital, keuangan, dan moral agar masyarakat memiliki ketahanan terhadap jebakan dunia maya. Upaya memperkuat literasi digital dan kesadaran publik kini mulai mendapat perhatian dariberbagai pihak, termasuk dunia akademik. Salah satu contoh nyata datang dari UniversitasLampung (Unila) melalui inovasi bertajuk Gambling Activity Tracing Engine (GATE...
- Advertisement -

Baca berita yang ini