Oleh: Joel Putera Silaban*
Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menjadi undang-undang telah berlangsung dengan lancar dalam rapat Paripurna DPR. Dalam pengesahan ini, hadir 293 anggota dewan beserta pimpinan DPR. Keputusan ini menandai langkah penting dalam memperkuat peran TNI di era modern tanpa menyimpang dari prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
Salah satu poin utama dalam revisi ini adalah memastikan bahwa TNI tetap berada dalam koridor negara demokrasi. Kejelasan posisi TNI sebagai institusi militer yang profesional dan proporsional dalam sistem pemerintahan sipil menjadi perhatian utama. Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR, Taufiq R Abdullah, menegaskan bahwa pembahasan revisi UU TNI menunjukkan komitmen kuat untuk menolak kembalinya dwifungsi ABRI. Keputusan ini mencerminkan amanat reformasi 1998 yang harus terus dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang.
Terkait dengan jabatan di kementerian dan lembaga negara, revisi UU ini tidak menciptakan kebijakan baru, melainkan melakukan sistematisasi dan memberikan landasan hukum yang lebih kuat atas praktik yang telah berlangsung. Jabatan di lembaga seperti Badan Keamanan Laut, Badan Pengelolaan Perbatasan, serta bidang penanggulangan terorisme merupakan contoh relevan dari peran TNI dalam mendukung kepentingan nasional.
Kekhawatiran publik mengenai kemungkinan kembalinya dwifungsi ABRI dijawab oleh pemerintah dengan tegas. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menekankan bahwa revisi UU TNI tidak bertujuan mengembalikan peran militer dalam politik dan pemerintahan seperti pada masa Orde Baru. Substansi revisi ini lebih mengarah pada penguatan institusi TNI agar tetap adaptif terhadap tantangan pertahanan dan keamanan nasional tanpa melampaui batas kewenangannya dalam sistem demokrasi.
Selain itu, pemerintah mengimbau masyarakat untuk tidak terprovokasi oleh narasi yang menyesatkan terkait revisi ini. Penugasan prajurit TNI dalam berbagai bidang, termasuk dalam operasi militer selain perang (OMSP) seperti penanggulangan bencana, bukanlah indikasi kembalinya dwifungsi, melainkan bentuk optimalisasi peran TNI dalam membantu negara.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan bahwa perubahan tersebut berkaitan dengan kedudukan Kementerian Pertahanan, lingkup baru yang mengatur penugasan TNI, serta usia pensiun prajurit. Hal ini menunjukkan bahwa revisi UU TNI tidak bertujuan mengubah secara fundamental peran TNI, tetapi lebih pada menyesuaikan kebijakan dengan dinamika strategis yang ada.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), turut menegaskan bahwa revisi ini tidak akan membawa Indonesia kembali ke era dwifungsi ABRI. AHY menilai bahwa masyarakat harus memahami dengan baik substansi perubahan yang terjadi dan tidak terjebak dalam narasi yang keliru. Justru, UU TNI yang telah direvisi semakin memperjelas batasan perwira TNI dalam memasuki instansi sipil, sehingga tidak terjadi penyimpangan dari prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
Dukungan terhadap revisi ini juga datang dari Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, yang menyatakan bahwa proses pembahasan RUU TNI telah melalui prosedur yang sesuai dengan mekanisme demokrasi. Ia menilai bahwa segala keputusan yang diambil telah mempertimbangkan kepentingan bangsa dan negara secara menyeluruh. Dengan demikian, fokus utama saat ini adalah bagaimana sosialisasi UU ini dapat berjalan dengan baik agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.
Ketua Fraksi Partai Gerindra DPR, Budisatrio Djiwandono, juga menegaskan bahwa revisi UU TNI tetap berpegang pada prinsip supremasi sipil dan semangat reformasi. Menurutnya, revisi ini bukan langkah mundur, melainkan upaya adaptasi terhadap dinamika pertahanan modern. DPR tetap menjalankan fungsi pengawasan dengan ketat untuk memastikan bahwa revisi ini tidak mengarah pada penyimpangan dari cita-cita reformasi.
Meski banyak pihak yang sempat meragukan tujuan revisi UU TNI, fakta bahwa pembahasan dilakukan secara transparan dan mendapat dukungan luas menunjukkan bahwa proses demokrasi tetap berjalan dengan baik. Penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa revisi ini bukan upaya menghidupkan kembali militerisme dalam pemerintahan, melainkan untuk memperkuat posisi TNI sebagai penjaga kedaulatan negara yang profesional dan proporsional.
Pada akhirnya, pengesahan revisi UU TNI harus dipahami sebagai langkah maju dalam menjaga keseimbangan antara kebutuhan pertahanan negara dan prinsip demokrasi. Dengan adanya revisi ini, peran TNI semakin jelas dalam sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi supremasi sipil, sekaligus memastikan bahwa adaptasi terhadap tantangan strategis dapat dilakukan secara efektif tanpa mengorbankan nilai-nilai reformasi. Oleh karena itu, dukungan dan pemahaman dari seluruh elemen masyarakat sangat diperlukan agar implementasi UU ini dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
*Penulis merupakan pengamat pertahanan nasional