Tiga Menteri Agama yang Mencuri Perhatian Publik

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Selama ini, kursi jabatan Menteri Agama (Menag) banyak dilimpahkan pada tokoh-tokoh agama dari Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Meski begitu, NU lah yang paling mendominasi kursi tersebut.

Tercatat, terdapat 4 tokoh Muhammadiyah yang berhasil menduduki jabatan tersebut seperti Rasjidi, Achmad Asj’ari, Fakih Usman, dan Abdul Malik Fadjar. Sedangkan tokoh NU yang berhasil menjabat sebagai Menag sebanyak 19 tokoh, termasuk Yaqut Cholil Qoumas.

Alasan mengapa NU dipercaya untuk mengemban jabatan Menag karena organisasi ini merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia. Organisasi ini pun bersifat pluralis dalam pergerakannya.

Dikutip dari laman kemenag.go.id, setidaknya sudah ada 21 tokoh yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama di Indonesia. Beberapa dari mereka sangat fenomenal, entah itu karena latar belakangnya atau pun karena kebijakan-kebijakannya. Lalu, siapa sajakah mereka?

Prof KH Fathurrahman Kafrawi

 

Menteri Agama kedua ini meluncurkan berbagai kebijakan selama masa pimpinannya. Ia menjabat sebagai menteri sejak 2 Oktober 1946 hingga 27 Juni 1947 dalam Kabinet Sjahrir III.

Meski hanya setahun, ia telah membuat beberapa kebijakan seperti membenahi struktur organisasi Kementerian Agama dan memperbaiki peraturan pernikahan yang berlaku pada masa pemerintahan Hindia Belanda lewat Undang-Udang No.22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR).

Ia pun mengambil langkah-langkah lebih lanjut. Misalnya, mengangkat petugas Masjid menjadi Pegawai Negeri. Saat itu, diangkat pula pegawai pemerintahan yang tugasnya membantu mencatat NTR.

Sejalan dengan itu, pada 30 April 1947 ditetapkan Maklumat Bersama Kementerian Dalam Negeri (pimpinan Moh. Roem) dengan Kementerian Agama (pimpinan Fathurrahman) No. 3 Tahun 1947. Maklumat itu berisi tentang aturan-aturan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban para kaum, baik yang disebut modin (muazin), kayim (pembantu koordinator Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat) atau lebai (pegawai Masjid).

Kebijakan lain yang diambil oleh Menag kedua ini ialah tentang hal-hal yang menyangkut pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Saat itu, ia berhasil memperjuangkan agar pendidikan agama diberikan di berbagai tingkatan sekolah mulai dari Sekolah Rakyat (saat ini Sekolah Dasar) hingga Sekolah Menengah Atas.

Namun, pada saat itu nilai pelajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas. Sebetulnya, usulan menjadikan agama sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah-sekolah umum berjalan cukup alot pada masa itu.

Selanjutnya, Fathurrahman mengambil dua kebijakan lainnya seperti penghentian pelaksanaan haji untuk sementara watu dan upaya dalam mengetasi persilisihan intern umat Islam, khusunya yang berkaitan dengan masalah khilafiyah.

Ia memutuskan untuk memberhentikan pelaksanaan haji untuk semetara waktu karena saat itu negara masih dalam keadaan perang. Sehingga, keamanan para jemaah tidak bisa terjamin. Kebijakan ini berawal dari fatwa K.H Hasyim Asy’ari, seorang tokoh Nahdhatul Ulama yang sangat disegani. Dalam fatwanya ia mengatakan jika pergi haji di kala perang hukumnya tidak wajib. Isi fatwa itu kemudian dituangkan dalam Maklumat Menteri Agama No. 4 Tahun 1947 yang menegaskan bahwa ibadah haji dihentikan selama keadaan masih dalam keadaan genting dan tidak menentu.

Pada masa itu pula, terjadi perselisihan antar umat Islam. Persoalan yang paling menonjol saat itu ialah perselisihan dalam menentukan ru’yah dan hisab, yakni penentuan awal dan akhir bulam khususnya pada bulan Ramadhan.

Setelah lengser, kursi kepemimpinannya digantikan oleh Achmad Ajari. Namun, tidak ada perubahan yang signifikan selama tiga bulan masa kepemimpinan Ajari. Maka, jabatan tersebut digantikan oleh H Anwarudin.

KH Saifuddin Zuhri

Ia merupakan Menteri Agama ke-8 sekaligus Menteri Agama terakhir di masa orde lama. Saifuddin menjabat selama lima tahun sejak 6 Maret 1962 hingga 11 Oktober 1967. Ia menjabat sebagai menteri di lima kabinet secara beruntun, yaitu Kerja III, Kerja IV, Dwikora I, Dwikora II, dan Ampera I.

Sejak belia, Saifuddin sudah terjun dalam dunia Nahdlatul Ulama. Ketika Pecah Revolusi Kemerdekaan, ia dipilih sebagai salah satu pimpinan Laskar Hizbullah.

Pria yang wafat pada 25 Maret 1986 itu telah berjasa dalam mengembangkan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di seluruh penjuru negeri. Saat ini, banyak dari perguran tinggi bentukan Saifuddin itu yang berubah nama seperti Universitas Islam Negeri (UIN).

Saat kepemimpinannya, Departemen Agama pernah terbebas dari susahnya penyelenggaraan haji. Ia pun memperjuangkan agar Ongkos Naik Haji (ONH) terjangkau untuk masyarakat meski saa itu terjadi inflasi secara besar-besaran.

Selama Orde Lama, Saifuddin pernah mengancam Soekarno. Saat itu, Presiden Pertama Indonesia tersebut ingin membubarkan organisasi kemahasiswaan bentukan Partai Masyumi, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Di masa-masa berakhir kepemimpinanya, Soekarno memang diketahui sangat jengkel tentang apa pun yang berkaitan dengan Partai Masyumi. Ia menganggap partai itu terlibat dalam pemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) tahun 1958.

Saat itu, Saifuddin mencoba untuk meyakinkan Soekarno agar mempertahankan HMI. Soekarno berpendapat jika HMI merupakan anak-anak Masyumi sehingga akan tetap reaksioner. Reaksioner ialah seseorang yang memiliki pandangan politik yang mendukung pengembalian ke status quo, keadaan politik masyarakat sebelumnya.

“Pak, ketika masih jaya-jayanya Masyumi mereka masih anak-anak SMA dan SMP. Mereka tidak tahu persis apa itu Masyumi. Kita jangan mengikuti falsafah yang mengatakan karena Bapak salah, anak-anaknya pun berdosa semuanya” sanggah Saifuddin.

Mendengar hal ini, Soekarno kehabisan kata-katanya. Ia menyampaikan pada Saifuddin jika ia melakukan ini menurut perkataan hatinya.

Untuk meyakinkan orang nomor satu di Indonesia tersebut, Saifuddin mengancam “Jika bapak tetap ingin membubarkan HMI. Maka, tugas saya sebagai pembantu Presiden cukup sampai disini saja,

Setelah lengser bertahun-tahun lamanya, Lukman Hakim Saifuddin, putra bungsunya diangkat sebagai Menag di Kabinet Kerja Joko Widodo.

Fachrul Razi

Menteri Agama Fahrul Razi (foto: istimewa)

Pria kelahiran 26 Juli 1947 ini ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Agama pada Kabinet Indonesia Maju. Ia mengemban jabatan itu sejak 23 Oktober 2019 hingga direshuffle pada 23 Desember 2020, digantikan oleh Yaqut Cholil Qoumas.

Sejak pelantikannya, Menteri Agama (Menag) ke-20 ini menuai berbagai polemik. Banyak dari tokoh-tokoh agama yang tidak senang terkait putusan Presiden Joko Widodo ini, sebab Fachrul berasal dari dunia militer.

Memang, setelah rezim Soeharto tumbang, kursi Menag paling banyak diberikan kepada tokoh-tokoh Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Sehingga, Fachrul tidak terlalu memiliki ikatan dengan ormas-ormas tersebut.

Tidak butuh waktu lama bagi Fachrul untuk mendapatkan perhatian masyarakat. Ia menjadi perbincangan masyarakat ketika dilantik sebagai Menag. Saat itu, ia mengatakan jika dirinya bukan lah menteri agama Islam semata, melainkan menteri dari kelima agama di Indonesia.

Pernyataannya ini menimbulkan kontra. Sebab, di Indonesia tersendiri ada enam agama yang diakui antara lain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu.

Tak cukup sampai disini saja, sepekan kemudia ia mengulang membuat usulan yang kontroversial terkait larangan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) menggunakan cadar atau memakai celana diatas mata kaki pada lingkungan pemerintahan.

Usulan ini ia sampaikan setelah muncul sebuah tragedi penusukan yang menimpa Wiranto, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).

Tetapi, ia menarik usulannya tersebut sehari setelahnya karena menimbulkan berbagai kegaduhan di kalangan masyarakat. Hal ini pun semakin menguatkan keyakinan publik terkait ketidakmampuannya menjadi Menag.

Pernyataan Fachrul terkait radikalisme pun menuai sorotan tajam. Pada tanggal 2 September 2020, ia mengikuti sebuah acara launching aplikasi. Di sana, ia berbicara mengenai antisipasi kemungkinan bibit-bibit radikalisme.

Karena pernyataannya itu, para tokoh-tokoh agama menyatakan jika Fachrul tidak menggambarkan kepimpinan Kementerian Agama dalam menjalankan fungsi agama dan pendidikan.

Menyikapi suara-suara miring tentang dirinya, Facrul mengatakan “Tidak ada cerita penolakan. Dengan senang hati, semua kiai-kiai itu sahabat saya dan sama-sama misinya sama, bagaimana membangun bangsa yang lebih baik, membangun umat yang baik. Jadi enggak mungkin ada penolakan.”

Reporter: Diani Ratna Utami

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Wujudkan Pilkada Damai, Masyarakat Harus Lebih Bijak Gunakan Media Sosial

Jakarta - Masyarakat perlu lebih bijak dalam menggunakan media sosial untuk mewujudkan Pilkada Serentak 2024 yang Damai. Pusat Riset Politik...
- Advertisement -

Baca berita yang ini