MATAINDONESIA, JAKARTA – Perayaan Natal jatuh setiap 25 Desember. Hal ini tidak lepas dari Sinterklas atau Santa Claus yang selalu menjadi ikon hari Natal.
Sinterklas biasanya digambarkan sosok kakek berbadan besar dan berjenggot. Ia mengenakan baju tebal dan penutup kepala bercorak merah putih. Sinterklas juga dikenal selalu membagikan hadiah kepada anak-anak di hari Natal.
Sinterklas atau Santa Claus memilki beragam nama seperti Saint Nicholas, Kris Kringle, dan Santa. Sinterklas sering kali dikaitkan dengan sosok Santo Nicholas yang hidup pada abad ke-4 Masehi di Myra, Turki.
Santo ini sangat dikagumi kala itu karena kedermawanannya yang kerap melakukan perjalanan ke desa-desa untuk membantu orang miskin dan orang yang sedang sakit.
Santo Nicholas menggelar pesta dan menyediakan banyak hadiah untuk anak-anak setiap tanggal 6 Desember. Popularitas Santo Nicholas menjadikan ia subyek dari banyak legenda masyarakat Eropa. Sosoknya kemudian dikenal sebagai pelindung anak-anak dan para pelaut.
Kisah tentang Santo Nicholas kemudian menyebar ke daratan Amerika pada akhir abad ke-18. Orang-orang Belanda membawa serta kisah Santo ketika hijrah ke New Amsterdam (dahulu wilayah yang saat ini bernama New York merupakan tanah yang dikuasai Belanda).
Penggambaran Sinterklas didasari karya kartunis Thomas Nast untuk majalah Harper’s Weekly pada 1963.
Karakter yang digambarnya banyak terinspirasi dari deskripsi dalam puisi berjudul “An Account of a Visit from St. Nicholas,” atau yang lebih populer dengan judul “Twas the Night Before Christmas” karya Clement Clarke Moore dan diterbitkan tahun 1823.
Dalam puisi tersebut, Sinterklas dideskripsikan sebagai peri tua yang periang. Ia terbang dari rumah ke rumah pada malam Natal untuk memberikan hadiah bagi anak-anak.
Menurut Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Albertus Patty, Sinterklas merupakan sosok historis di luar ajaran Kristen. Dia menuturkan, nama itu adalah julukan bagi Nicholas dari Myra, seorang uskup yang hidup di wilayah Yunani (kini Turki) sekitar abad keempat masehi.
Albertus menjelaskan, Nicholas dikenang sejarah sebagai sosok yang gemar berbuat baik terhadap orang miskin. Karena itu, ajaran Kristen kemudian mengadopsi kisahnya sebagai lambang kasih. ”Sikap cinta kasih Nicholas inilah yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Barat, Amerika Latin, dan negara-negara Asia Timur, termasuk Jepang, sebagai bagian dari tradisi Natal. Inti pesannya adalah cinta kasih,” kata Albertus Patty dalam pesan singkatnya.
Reporter : Mega Suharti Rahayu