Serangan La Nina Selama Tiga Tahun Beruntun ke Indonesia, Apa Dampaknya?

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Selama tiga tahun berturut-turut, fenomena cuaca La Nina telah terbentuk di Samudra Pasifik. Penemuan ini diumumkan Badan Meteorologi Australia (BOM).

Pengumuman ini mendapat tanggapan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG). Menurut BMKG kejadian terbentuknya La Nina ini cukup unik.

Sebab dari catatan indikator hanya dua kejadian La Nina yang pernah berlangsung sampai tahun ketiga.

Fenomena yang disebut ‘Triple-dip’ La Niña itu sebelumnya pernah terjadi dari 1973 -1975 serta 1998-2001. ”Sungguh luar biasa La Nina terjadi tiga tahun berturut-turut,” kata Sekretaris Jenderal Badan Meteorologi Dunia (WMO) Petteri Taalas.

Menurut BMKG, La Nina akan bertahan hingga akhir 2022. Dan ini  menyebabkan sebagian wilayah Indonesia akan mengalami musim hujan lebih awal.

Apa itu La Nina?

La Nina adalah peristiwa alam yang mengakibatkan Suhu Muka Laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan di bawah kondisi normalnya.

Pendinginan SML ini mengurangi potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum. Untuk Australia, perubahan curah hujan terjadi di bagian timur, utara, dan tengah. Sementara untuk Indonesia, kebanyakan terjadi di wilayah selatan garis khatulistiwa.

Pelaksana Tugas Harian (Plh) Kepala Pusat Perubahan Iklim BMKG, Supari, mengatakan La Nina tidak menyebabkan bencana yang sifatnya khusus.

Dia mengamini bahwa La Nina menyebabkan akumulasi curah hujan bulanan meningkat. Tapi tidak terkait langsung dengan peristiwa yang sifatnya tunggal dan harian. La Nina, menciptakan kondisi yang memungkinkan suatu peristiwa terjadi atau memperbesar peluang event itu untuk terjadi.

”Kita tidak bisa mengaitkan secara langsung apabila ada banjir, banjir ini karena La Nina.” Keterangan dalam kanal BMKG di YouTube.

Pola cuaca La Nina adalah salah satu dari tiga fase El Niño Southern Oscillation (ENSO). Ini mengacu pada suhu permukaan laut dan arah angin di Pasifik dan dapat beralih antara fase hangat yang disebut El Niño, fase yang lebih dingin dengan sebutan La Niña, dan fase netral.

Peralihan fase itu umumnya memakan waktu sekitar tiga hingga tujuh tahun, tetapi sekarang ini adalah tahun ketiga fase La Nina terjadi berturut-turut dan pertama kalinya dalam abad ini.

La Nina menyebabkan akumulasi curah hujan bulanan meningkat, tapi tidak berkait langsung dengan peristiwa-peristiwa harian. Menurut Pelaksana Tugas Harian (Plh) Kepala Pusat Perubahan Iklim BMKG, Supari, menjelaskan fenomena La Nina membawa dampak peningkatan curah hujan di banyak tempat di Indonesia, meski sebenarnya dampak La Nina tidak pernah sama karena dipengaruhi faktor lainnya.

“La Nina tahun 2020 membawa dampak peningkatan curah hujan di banyak tempat, terutama di wilayah tengah dan timur. Kami sedang menginventarisir kembali tahun 2021, dan 2022 dampaknya seperti apa. Tapi memang sejauh ini sepanjang Mei, Juni, Juli, itu kita mengalami kondisi hujan di atas normal,” jelas Supari.

Kondisi atas normal yang dimaksud, kata Supari, mencakup hampir 50 persen wilayah Indonesia.

“Sehingga kita bisa mengatakan sebagian besar wilayah kita mengalami hujan di atas normal,” ujar dia.

Supari menambahkan, daerah yang paling banyak mengalami peningkatan curah hujan adalah daerah di wilayah selatan garis khatulistiwa, seperti Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan bagian selatan, serta Sulawesi dan Papua bagian selatan.

BMKG mencatat La Nina tahun ini berbeda dengan 2021 lalu. Tahun lalu, musim kemarau yang terjadi di Indonesia cukup basah, tapi tahun ini lebih basah lagi.

“Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, NTB, kalau kemarau itu, biasanya bulan Juli-Agustus, curah hujan tidak sampai 50 milimeter, sangat rendah, lalu tahun ini kondisinya curah hujannya jadi 100 milimeter. Hujannya lebih banyak dari tahun lalu. Atau tahun-tahun normalnya,” kata Supari.

BMKG mengkategorikan musim kemarau bukan musim tanpa hujan, melainkan musim kering dengan curah hujan bulanan kurang dari 150 milimeter. Artinya, ketika curah hujan di suatu daerah 100 milimeter, itu masih kategori sebagai musim kemarau.

La Nina menyebabkan musim kemarau tahun ini datang lebih lambat. Sebagian zona musim yang seharusnya sudah memasuki bulan-bulan musim kemarau, ternyata masih mengalami musim hujan.

“Karena awal musim kemaraunya itu sudah mundur, lalu musim hujannya kita prakirakan maju. Maka nanti kemungkinan besar, sebagian besar memang durasi musim kemaraunya lebih pendek. Yang belum masuk musim penghujan pun, nanti akan mengalami musim kemarau yang lebih pendek,” ujar Supari.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan prakiraan musim hujan 2022 akan muncul lebih awal. Sampai akhir Agustus analisis BMKG menunjukkan 78% dari zona musim di Indonesia sedang mengalami musim kemarau, sementara 22% lagi mengalami musim hujan.

Sebagian dari 22% wilayah yang sedang mengalami musim hujan terdentifikasi tidak mengalami musim kemarau. Hal ini karena musim hujannya yang bersambung dengan musim hujan sebelumnya. Kondisi seperti itu terjadi di Sumatera bagian tengah. Sebagian di Kalimantan Barat, dan sebagian Kalimantan Tengah.

Dalam situsnya, BMKG menyebutkan terdapat peringatan dini curah hujan tinggi pada klasifikasi Siaga hingga Waspada untuk wilayah kabupaten di Provinsi Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku , dan Papua Barat.

Kemudian terdapat peringatan dini kekeringan meteorologis pada klasifikasi Awas hingga Waspada untuk wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Penulis: BBC/Alya Aida 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Benyamin Dorong Pemanfaatan Telaga Mijahan Sebagai Sumber Pendapatan Mandiri, Inspirasi bagi Anak Muda

Mata Indonesia, Gunungkidul – Dalam suasana hangat dan penuh semangat di Joglo Bakmi Jawa Gunungkidul, Padukuhan Sambirejo, Kalurahan Semanu, Kabupaten Gunungkidul, Sabtu (21/12/2024), Benyamin Sudarmadi, S.H., M.Si., Ketua Petani Merdeka DPD DIY sekaligus pengelola Joglo Bakmi Jawa, menyampaikan gagasan visionernya.
- Advertisement -

Baca berita yang ini