MATA INDONESIA, JAKARTA – Pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai hingga kini, menimbulkan efek yang berpengaruh pada berbagai aspek. Setidaknya mengakibatkan 2,3 miliar orang di bumi ini menderita kelaparan.
Pandemi ini memang telah membuat kondisi pangan setiap negara berkurang akibat mengalami pendapatan yang berkurang dan akibat terganggunya rantai pasokan pangan.
Hal itu terjadi terutama ada populasi atau negara termiskin. Menurut laporan PBB pada bulan Juli 2021, kelaparan global sudah meningkat dibanding tahun 2020 sehingga mencapai 2,3 miliar orang tak memiliki akses sepanjang tahun terhadap makanan yang layak.
Sementara, lebih dari 155 juta orang menderita kelaparan akut karena ketidakstabilan dan proyeksi pada sisa tahun 2021 dengan guncangan iklim dan pandemi yang memperburuk situasi.
PBB sudah mengingatkan ada empat negara baru yang akan menambah panjang daftar wilayah dengan kelaparan akut.
Keempat negara tersebut adalah Etiopia, Madagaskar, Sudan Selatan, dan Yaman. Mereka diperingatkan telah mengalami kondisi seperti kelaparan dan hampir tiga lusin negara lainnya di tahun 2021 ini.
Dengan kondisi tersebut membuat dunia mencatat nol kelaparan pada 2030 akan meleset. Adanya gangguan pada rantai pasokan akibat Covid-19 dan permintaan konsumen yang meningkat pada makanan, justru menaikkan harga pangan di seluruh dunia.
Hal itu jelas memperburuk kerawanan pangan bagi 820 juta orang di negara-negara berpenghasilan rendah yang telah menghabiskan pendapatan mereka untuk makanan.
Pada Juni 2021, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), harga pangan dunia turun untuk pertama kalinya, namun masih 33,9 persen lebih tinggi dari harga Juli 2014.
Menurut catatan FAO dan Program Pangan Dunia (WFP), ada empat faktor utama pandemi Covid-19 yang merubah menjadi krisis pangan mendalam.
Pertama, lapangan kerja dan upah menurun. Kedua, terjadi disrupsi penanganan pandemi pada produksi dan pasokan pangan dunia.
Ketiga, pendapatan pemerintah menurun. Dan yang terakhir ialah meningkatnya ketidakstabilan politik yang memicu konflik sengketa sumber daya alam.
Di Kawasan Afrika Sub-Sahara, keluarga yang rentan dan berpenghasilan rentan memilih makanan yang lebih murah dan kurang bergizi untuk bertahan hidup, karena makanan kaya nutrisi seperti telur, buah-buahan, dan sayuran bisa 10 kali lebih mahal daripada makanan seperti beras atau gandum.
Tentu saja hal ini mendorong terjadinya malnutrisi dan obesitas yang akan meningkat. Maka, FAO merilis revisi anggaran rencana respon global bagi Covid-19 menjadi 428,5 juta dolar AS yang terdiri dari perlindungan mata pencaharian warga, mempertahankan rantai pangan dan memastikan orang-orang paling rentan mendapat akses kepada makanan yang bergizi.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, Institut Sumber daya Dunia (WRI) dan Aliansi Global untuk perbaikan gizi (GAIN) menjalin kemitraan dalam Koalisi Pangan dan Tata Guna Lahan (FOLU) yang mengeluarkan call to action untuk mengatasi krisis dan mendorong pemulihan.
Aksi itu adalah:
- Negara-negara perlu mempertahankan perdagangan terbuka dan memastikan bahwa rantai pasok pangan tetap berjalan. Negara utama yang mengekspor bahan pangan harus memastikan bahwa mereka dapat menyediakan pasokan pasar untuk pelanggan internasional.
- Negara-negara dengan bantuan sektor swasta perlu mengadopsi langkah-langkah untuk memperkuat dan memperluas program pangan dan gizi yang ditargetkan dan jaring pengaman pendapatan untuk perlindungan sosial.
- Negara di seluruh dunia harus memastikan bahwa sektor pangan dan tata guna lahan didanai secara cukup dengan modal jangka panjang untuk pasokan pangan yang bergizi dan terjangkau. (Annisaa Rahmah)