Saat Terdesak, Suku Pedalaman Hutan Amazon Mulai Melawan

Baca Juga

MATA INDONESIA, RIO DE JANEIRO – Hutan Amazon saat ini menjadi paru-paru dunia. Hal ini karena hutan tropis terluas di dunia ini menghasilkan 30 persen oksigen dari total yang ada di bumi. Ada beraneka ragam flora fauna hidup di hutan seluas 5,5 juta kilometer persegi tersebu. Hutan Amazon membentang di sembilan negara Amerika Selatan; Brasil, Kolombia, Peru, Venezuela, Ekuador, Bolivia, Guyana, Suriname, dan Guyana Prancis.

Selain kaya dengan jenis hewan dan tumbuhan, Hutan Amazon ternyata masih menyimpan banyak misteri. Salah satunya keberadaan suku-suku adat yang tinggal di pedalaman hutan. Mereka masih belum terkoneksi dengan dunia luar. Keberadaan mereka sangatlah memberikan kontribusi bagi kesejahteraan planet secara keseluruhan karena ahli dalam pelestarian hutan.

Rieli Franciscato merupakan salah satu peneliti dan pembela hak-hak masyarakat adat Hutan Amazon yang ada di Brasil. Ia memiliki tugas utuk memantau dan melindungi kelompok adat. Ia tergabung kedalam lembaga Funai.

Tidak seperti negara di Amerika lainnya, Brasil dan sejumlah negara Amerika Selatan masih memiliki kelompok adat yang belum terkoneksi dengan dunia luar. Prakiraan, saat ini dunia memiliki lebih dari 100 kelompok adat. Lebih dari setengahnya ada di wilayah Amazon.

Keberadaan suku-suku ini menjadi bahan penelitian sejumlah kalangan. Salah satunya adalah Rieli Franciscato. Namun pada 9 September 2020 Moises Kampes, seorang anggota suku asli brasil, menemukan Rieli terkulai lemas di atas tanah dengan sebuah anak panah menembus dadanya. Rieli tewas beberapa menit setelah tiba di rumah sakit.

Panah itu merupakan milik dari kelompok pedalaman yang sempat terlihat di sebuah area pertanian di Seringueiras, Brasil. Sangat sulit teridentifikasi suku mana yang menembakkan panah tersebut. Karena di daerah tersebut merupakan salah satu dari sekian pemukiman terpencil suku asli pedalaman. Terkenal dengan nama pemukiman Uru-Eu-Wau-Wau. Terdapat 9 suku berbeda yang tinggal di kawasan itu.

Moises Kampe menjelaskan bahwa suku pedalaman sangat sering terganggu oleh para pemburu, penebang hutan, dan petani. Sehingga tidak ada cara bagi mereka untuk mengetahui apakah orang asing yang datang itu ancaman atau bukan.

Kampes mengatakan bahwa suku-suku asli ini mungkin tidak pernah tahu kalau Rieli adalah salah satu pembela terbesar hak-hak masyarakat adat. Para ahli dari kelompok pejuang hak-hak masyarakat adat seperti Survival International mengatakan bahwa dengan adanya perambahan di hutan Amazon akan berisiko terhadap kepunahan suku pedalaman.

Salah satunya “Man of the Hole”. Itu adalah julukan bagi satu-satunya orang suku pedalaman yang tidak terkoneksi yang berhasil selamat karena kemampuannya dalam menggali lubang untuk menjebak binatang. Selain itu pengrusakan habitat yang membuat masyarakat suku pedalaman sulit mencari makanan karena habitat yang hancur.

Selain dari gangguan, sebenarnya masyarakat luar dilarang untuk kontak langsung dengan suku terasing ini. Sydney Possuelo, mantan pimpinan Funai ini yang membuat peraturan agar masyarakat luar tidak berkontak langsung dengan masyarakat pedalaman kecuali diinisiasi orang-orang pedalaman itu sendiri. Karena bisa berbahaya dan menibulkan masalah. Bukan bagi kita tapi bagi para masyarakat pedalaman. Menurut Possuelo, mereka tidak melakukan banyak kontak dengan penyakit sehingga kekebalan tubuh mereka tidak sepertii warga lainnya. Masuknya flu saja bisa menyebar dengan cepat dan berbahaya bagi mereka.

Namun Presiden Brasil, Jair Bolsonaro yang berkuasa sejak 2019 memiliki pemikiran yang berbeda. Alih-alih melindungi, Ia malah mendukung untuk mengeksploitasi secara komersial wilayah Amazon. Bolsonaro mengambil sikap keras untuk urusan masyarakat adat. Kebijakan Bolsonaro juga menyangkut keberadaan tanah masyarakat adat. Ia juga menggagas perpindahan tanggung jawab keputusan tanah adat dari Menteri Kehakiman kepada Menteri Pertanian yang dimana akhirnya ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Di masa kepemimpinannya kelompok pejuang hak-hak masyarakat adat melaporkan terjadi peningkatan konflik yang melibatkan masyarakat adat di wilayah pedesaan.

Salah satu contohnya adalah saat 9 September 2020, hari yang sama dengan kematian Rieli. Dhuliana Pereira, wanita berumur 18 tahun melihat bahwa adanya suku pedalaman yang berkeliaran di lahan pertanian orang tuanya. Dhuliana berkata bahwa kesalahan fatal pasti telah terjadi di dalam hutan yang membuat mereka berkeliaran di wilayah pedesaan. Yang dikhawatirkan saat itu adalah efek serangan lebih lanjut.  Otoritas setempat meminta masyarakat untuk menghindar jika mereka kembali lagi ke wilayahnya.

Reporter: Desmonth Redemptus Flores So

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Flu Singapura Tak Ditemukan di Bantul, Dinkes Tetap Waspadai Gejala yang Muncul

Mata Indonesia, Bantul - Dinkes Kabupaten Bantul menyatakan bahwa hingga akhir April 2024 kemarin, belum terdapat kasus flu Singapura yang teridentifikasi. Namun, Dinkes Bantul tetap mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. "Kami belum menerima laporan terkait kasus flu Singapura di Bantul. Kami berharap tidak ada," ujar Agus Tri Widiyantara, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bantul, Sabtu 4 Mei 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini