MATA INDONESIA, JAKARTA – Studi seroprevalensi (pengujian antibodi) di Universitas Indonesia menunjukkan penyebaran Covid-19 di Indonesia menyebar jauh lebih luas daripada laporan data resmi nasional. Studi ini dibagikan oleh epidemiolog atau ahli wabah UI Tri Yunis Miko Wahyono, yang ikut berpartisipasi dalam studi dengan bantuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dalam data yang tercatat di Gugus Tugas Covid-19, hingga saat ini, Indonesia telah mencatat sekitar 1,83 juta kasus positif corona. Jumlah ini hanya 0,4 persen dari populasi penduduk Indonesia. Bahkan hingga saat ini, hanya 0,7 persen penduduk Indonesia yang tercatat terinfeksi COVID-19 menurut data resmi nasional.
Namun, para epidemiolog telah lama berpendapat sebetulnya banyak kasus yang tak terdeteksi karena testing, tracking, dan tracing (3T) di Indonesia masih rendah.
Lewat riset peneliti UI tersebut, diperkirakan sebanyak 15 persen dari 270 juta penduduk Indonesia sudah terpapar Covid-19 dari rentang Desember 2020 sampai Januari 2021. Dengan demikian, kurang lebih ada 40,5 juta orang yang sudah terpapar COVID-19.
Peneliti utama studi yang dibantu oleh Organisasi Kesehatan Dunia tersebut, Tri Yunis Miko Wahyono, menilai penyebabnya karena 3T yang rendah.
“Sistem surveilans resmi kami tidak dapat mendeteksi kasus Covid-19. Ini lemah,” ujar Miko dalam keterangannya Jumat 4 Juni 2021. ”Pelacakan kontak dan pengujian pun di Indonesia sangat buruk. Ini menjelaskan mengapa begitu sedikit kasus yang terdeteksi.”
Juru Bicara Kemenkes dr Siti Nadia Tarmizi mengatakan, mungkin studi ini masih awal. Namun ia tak memungkiri ada lebih banyak kasus daripada yang dilaporkan secara resmi. Sebab, banyak kasus COVID-19 tidak menunjukkan gejala.
”Indonesia juga memiliki pelacakan kontak yang rendah dan kurangnya laboratorium untuk memproses tes,” kata Nadia.
Studi seroprevalensi dilakukan berdasarkan tes darah, untuk mendeteksi antibodi yang muncul pada orang yang kemungkinan besar sudah terpapar COVID-19. Sedangkan data resmi kasus COVID-19 nasional resmi sebagian besar hanya didasarkan tes swab.
Artinya, orang yang terdeteksi terpapar COVID-19 hanya orang yang saat dites memiliki virus. Padahal bisa saja virus sudah ada, namun tak terdeteksi alat tes. Sebab, virus berkembang satu sampai tiga minggu setelah seseorang terpapar dan bisa tinggal di dalam tubuh selama berbulan-bulan.
Tri Wahyono mengatakan, meski studi di UI menunjukkan penyebaran Covid-19 aslinya lebih luas, Indonesia masih jauh dari herd immunity, sehingga perlu digenjot vaksinasi.
Menurut data pemerintah, dari 181 juta penduduk Indonesia, sejauh ini baru 9,4 persen yang telah divaksinasi dosis ke-1. Sedangkan baru 6 persen yang telah divaksinasi dengan dua dosis.