MATA INDONESIA, JAKARTA – Singapura merupakan salah satu negara yang berada di Asia Tenggara, tepatnya di Semenanjung Malayssia. Dulunya, Singapura merupakan koloni Inggris dan sekarang menjadi anggota Persemakmuran. Singapura pertama kali bergabung dengan Federasi Malaysia pada pembentukannya di tahun 1963. Namun, pada 9 Agustus 1965 memisahkan diri dengan Malaysia dan menjadi negara merdeka.
Dilansir Encyclopaedia Britannica (2015), Pulau Singapura awalnya dihuni oleh para nelayan dan bajak laut. Pulau itu dulunya berfungsi sebagai pos terdepan untuk Kerajaan Sriwijaya. Dalam prasasti Jawa dan Cina yang berasal dari abad ke-14, nama Pulau Singapura yang lebih umum adalah Tumasik atau Temasek. Berasal dari kata Jawa “tasek” yang berati laut.
Posisi Singapura yang merupakan tempat paling strategis dalam jalur perdagangan dan lalu lintas jalur laut, menjadikan Singapura tempat yang penting di wilayah Asia Tenggara sejak dahulu kala. Karena itu pula, Singapura selalu disinggahi para pedagang dan juga menjadi rebutan kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan di sekitarnya, dan kemudian oleh kaum penjajah.
Beberapa kesultanan yang pernah menguasai Singapura, yaitu Kesultanan Malaka (1398-1511), Kesultanan Johor (1511-1699), dan Kesultanan Johor-Riau (1699-1818). Sebelumnya, sebagai masa kuno Singapura sekitar 1200-1398, dua kerajaan Hindu Buddha di Nusantara, yaitu Sriwijaya dan Majapahit juga pernah menguasainya.
Kala itu, Tumasik yang kerap menjadi rebutan kerajaan-kerajaan besar sempat tidak menarik lagi setelah insiden pembakaran oleh Portugis yang konflik dengan Kesultanan Johor pada 1613. Tumasik berubah menjadi sarang penyamun dan sering terjadi perkelahian antar perompak yang berebut harta rampasan. Nama Tumasik pun berangsur-angsur dilupakan.
Hingga akhirnya, datanglah orang-orang dari East Indian Company (EIC) dari Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Raffles pada 28 Januari 1819. EIC sedang mencari tempat strategis di Selat Malaka untuk menandingi dominasi Belanda yang telah menguasai negeri seberang.
Ketika Raffles tiba, wilayah bekas Tumasik hanya dihuni oleh satu keluarga temenggung dari Johor, bersama 150 nelayan yang terdiri dari 120 orang Melayu dan 30 orang Cina. Raffles membayar temenggung ini dengan sejumlah uang agar diizinkan membangun pos dagang di Tumasik dan mendapatkan hak monopoli.
Tak hanya itu, sebagai upaya untuk mengamankan wilayah itu dari ancaman Belanda, Raffles menjalin perjanjian dengan pewaris Kesultanan Johor dan membantunya merebut tahta. Pada 9 November 1824, kesepakatan antara EIC dan Johor diperbaharui dan sejak saat itu, Tumasik resmi menjadi milik Inggris.
Sebagai imbalan, diberikan uang tunjangan tiap tahun dalam jumlah yang cukup besar kepada penguasa baru Johor itu. EIC atas nama Kerajaan Inggris juga mengangkatnya sebagai pemimpin boneka di wilayah yang kemudian beralih-rupa menjadi Singapura tersebut.
Di tahun 1824 itu pula, Inggris menggelar perundingan dengan Belanda (Perjanjian London). Disepakati bahwa Kepulauan Melayu dibagi dua untuk Inggris dan Belanda: kawasan utara termasuk Pulau Pinang, Melaka, dan Singapura di bawah pengaruh Inggris, sementara Belanda menguasai kawasan selatan.
Bekas wilayah Tumasik atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Singapura berkembang pesat dan menjadi kota modern di bawah pengelolaan EIC yang bertanggungjawab kepada Kerajaan Inggris. Peran Singapura sebagai kawasan strategis Inggris untuk zona Asia Tenggara pun semakin besar. Oleh karena itu, Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam bukunya berjudul “Nusantara: Sejarah Indonesia” (2008) menuliskan bahwa Sir Stamford Raffles merupakan pendiri negara Singapura.
Lalu, pada 1926, Singapura mulai tergabung dalam wilayah administratif bernama Straits Settlements atau Negeri-Negeri Selat bersama Penang dan Malaka. Ketiga negeri ini termasuk wilayah jajahan Inggris.
Penguasaan Inggris atas Singapura baru berakhir pada 1942, seiring kemenangan Jepang pada 15 Februari 1942. Wilayah Singapura pun diserahkan kepada Dai Nippon yang segera mengubah namanya menjadi Shonanto. Namun, Jepang hanya sebentar menguasai Singapura. Tanggal 12 September 1945, Singapura diserahkan kembali kepada Inggris lantaran Jepang yang gantian kalah dalam rangkaian Perang Dunia Kedua itu.
Tahun 1955, diadakan pemilihan umum pertama di Singapura atas izin pemerintah Inggris yang dimenangkan oleh tokoh pro-kemerdekaan, David Saul Marshall. Marshall kemudian meminta kemerdekaan secara penuh dari Britania dengan menghadap langsung ke London, namun permintaan itu ditolak.
Kegagalan tersebut membuat David Saul Marshall terpaksa mengundurkan diri dan digantikan oleh Lim Yew Hock. Kerajaan Inggris akhirnya memberikan otonomi atau hak pemerintahan internal kepada Singapura dengan dipimpin oleh seorang perdana menteri.
Pemerintahan otonomi di Singapura tidak berjalan optimal karena Inggris terkesan mengabaikan negara taklukannya itu. Hingga akhirnya, Singapura memutuskan lepas dari Inggris dan bergabung dengan Federasi Malaysia sejak 31 Agustus 1963.
Belum setahun bergabung dengan Federasi Malaysia, kerusuhan antar etnis sering melanda Singapura. Parlemen Malaysia pun bersidang untuk memutuskan masa depan negeri yang terletak di sisi barat laut Borneo itu: dipertahankan atau disingkirkan.
Hasil sidang menetapkan seluruh anggota dewan sepakat untuk mendepak Singapura. Tidak ada pilihan bagi negeri singa selain memulai hidup mandiri. Pada 9 Agustus 1965, Singapura resmi berdaulat dan merupakan satu-satunya negara yang merdeka bukan atas keinginan sendiri.
Kini, si anak terbuang bernama Singapura itu justru tampil sebagai salah satu negara paling makmur di dunia. Ia melebihi saudara-saudara tuanya di kawasan Asia Tenggara yang beberapa di antaranya memiliki wilayah jauh yang lebih besar tapi seolah tanpa daya dalam bidang ekonomi maupun politik.
Reporter: Indah Utami