MATA INDONESIA, JAKARTA – Setiap tahun 703.000 orang bunuh diri dan masih banyak lagi orang yang mencoba bunuh diri. Setiap bunuh diri adalah tragedi yang mempengaruhi keluarga, komunitas dan seluruh negara serta memiliki efek jangka panjang pada orang-orang yang ditinggalkan.
Bunuh diri terjadi sepanjang masa hidup dan merupakan penyebab kematian keempat di antara usia 15-29 tahun secara global tahun 2019.
Bunuh diri tidak hanya terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi, tetapi merupakan fenomena global di seluruh wilayah dunia. Faktanya, lebih dari 77 persen kasus bunuh diri global terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada tahun 2019. Salah satunya adalah India.
Pada 2020, kasus bunuh diri di India terjadi sebanyak 14,6 persen dari total 153.052 kasus. Lebih dari 50 persen total jumlah perempuan yang bunuh diri merupakan ibu rumah tangga.
Biro Catatan Kejahatan Nasional (NCRB) belum lama ini merilis data yang menuliskan ada sebanyak 22.372 ibu rumah tangga di India bunuh diri pada tahun lalu atau rata-rata terjadi 61 kasus bunuh diri setiap harinya atau setiap 25 menit.
NCRB telah melakukan pengumpulan data bunuh diri berdasarkan pekerjaan sejak 1997. Lebih dari 20.000 ibu rumah tangga telah bunuh diri setiap tahun, dan jumlahnya naik menjadi 25.092 tahun 2009.
Penyebabnya selalu dikaitkan dengan “masalah keluarga” atau “masalah terkait pernikahan”.
Namun, apa penyebab sebenarnya dari ribuan perempuan itu memilih untuk bunuh diri?
Menurut pakar kesehatan mental, alasan utama mereka bunuh diri adalah kekerasan dalam rumah tangga yang merajalela. Dalam survei pemerintah, 30 persen dari semua responden mengatakan bahwa mereka telah mengalami kekerasan dari pasangan dan kesibukan sehari-hari yang membuat mereka dapat tertindas dalam kehidupan rumah tangga dan pernikahan.
Psikolog Klinis di Kota Varanasi, Dr Usha Verma Srivastava, mengatakan “Perempuan sangat tangguh, tetapi ada batas toleransinya,”
“Kebanyakan anak perempuan langsung dinikahkan begitu mereka berusia 18 tahun – usia yang sah untuk menikah. Dia lalu jadi seorang istri dan menantu dan menghabiskan harinya di rumah, memasak, mencuci, dan melakukan pekerjaan rumah lainnya,” katanya.
“Dia pun mengalami segala macam pembatasan, hanya sedikit diberi kebebasan pribadi, dan jarang punya akses mendapat nafkah sendiri. Pendidikan dan cita-citanya tidak lagi dianggap penting dan ambisinya mulai perlahan-lahan pudar. Keputusasaan dan kekecewaan muncul serta keberadaannya belaka menjadi siksaan” tambahnya.
Menurut Dr Vema Srivastava, alasan bunuh diri pada perempuan yang lebih tua berbeda.
“Banyak yang menghadapi sindrom ‘sarang kosong’ setelah anak-anak tumbuh dewasa dan meninggalkan rumah dan banyak yang menderita gejala peri-menopause atau sebelum periode menopause yang dapat menyebabkan depresi dan tangisan.”
Ia juga mengatakan bahwa bunuh diri sebenarnya mudah di cegah.
Hal itu karena, banyak kasus bunuh diri di India yang implusif. “Pria pulang, lalu memukuli istri, dan perempuan itu bunuh diri.” kata psikiater Soumitra Pathare.
Sebuah penelitian independen menunjukkan, sepertiga perempuan India yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri memiliki riwayat menderita kekerasan dalam rumah tangganya.
Anehnya, data NCRB sama sekali tidak menyebutkan kekerasan dalam rumah tangga adalah penyebab dari banyaknya kasus bunuh diri perempuan di India.
“banyak perempuan menghadapi situasi kekerasan dalam rumah tangga yang tetap dapat mempertahankan kewarasan mereka hanya karena ada dukungan informal yang mereka terima,” kata Chaitali Sinha, Seorang psikolog di aplikasi kesehatan mental Wysa yang berbasis di Bangalore.
Shinha juga memiliki pengalaman untuk memberikan konseling kepada para penyintas percobaan bunuh diri saat dirinya bekerja selama tiga tahun di rumah sakit psikiatri pemerintah di Mumbai.
“Mereka tidak punya cara lain untuk mengekspresikan diri dan terkadang kewarasan mereka bergantung pada percakapan yang bisa mereka lakukan hanya dengan satu orang,” katanya.
Ia kemudian menambahkan, “Ibu rumah tangga memiliki ruang yang aman setelah laki-laki pergi bekerja, tetapi hal itu menghilang selama pandemi. Dalam situasi kekerasan dalam rumah tangga, itu juga berarti mereka sering terjebak dengan penganiaya mereka,” ini berarti bahwa pandemi dan peraturan karantina wilayah memperburuk kondisi mereka.
“Itu semakin membatasi gerak mereka dan kemampuan mereka untuk melakukan hal-hal yang membuat mereka senang atau terhibur. Jadi kemarahan, sakit hati, dan kesedihan menumpuk seiring waktu dan bunuh diri menjadi langkah terakhir.”
India tercatatat sebagai angka bunuh diri tertinggi secara global. Seperempat dari kasus bunuh diri global dilakukan oleh laki-laki di India, sedangkan 36 persen dari semua kasus bunuh diri global dalam kelompok usia 15 sampai 39 tahun dilakuan oleh perempuan di India.
Menurut Dr Pathare yang telah meneliti gangguan mental dan pencegahan bunuh diri, angka resmi di India tidak menggambarkan skala masalah yang sebenarnya.
“Jika Anda melihat data Million Death Study [yang memantau hampir 14 juta orang di 2,4 juta rumah tangga antara 1998-2014] atau Lancet Study, kasus bunuh diri di India dilaporkan kurang dari 30 persen hingga 100 persen.”
Ia juga mengatakan bahwa bunuh diri masih belum dibicarakan secara terbuka di lingkungan perusahaan. Hal ini disebabkan oleh perasaan malu dan stigma yang sangat melekat serta banyaknya keluarga yang mencoba untuk menyembunyikan.
“Di pedesaan India, tidak ada persyaratan untuk autopsi dan orang-orang kaya diketahui mempengaruhi polisi setempat untuk menunjukkan bunuh diri sebagai kematian yang tidak disengaja. Dan laporan polisi tidak diverifikasi.” ujarnya.
Menurut Dr Pathare, memperbaiki kualitas data adalah hal yang harus diprioritaskan ketika India berupaya untuk mengembangkan strategi pencegahan bunuh diri nasional.
“Jika Anda melihat jumlah percobaan bunuh diri di India, jumlahnya sangat rendah. Di mana pun di dunia, mereka umumnya empat sampai 20 kali [jumlah] bunuh diri yang sebenarnya. Jadi, jika India mencatat 150.000 kasus bunuh diri tahun lalu, percobaan bunuh diri akan berkisar antara 600.000 dan enam juta.”
Dr Pathare mengatakan, itu adalah populasi berisiko pertama yang harus ditargetkan dalam langkah intervensi pencegahan bunuh diri.
“Target PBB adalah untuk mengurangi bunuh diri secara global hingga sepertiga pada tahun 2030, tetapi pada tahun lalu, kita telah meningkat sebesar 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dan menguranginya tetap menjadi impian.”
Reporter: Sheila Permatasari