MATA INDONESIA, JAKARTA – Judi di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Mulai dari zaman kerajaan hingga penguasa kolonial Belanda. Mereka memanfaatkan judi untuk mengeruk dana dari masyarakat.
Perjudian tak hanya dianggap sebagai hiburan semata, tetapi juga sebagai sebuah alat untuk menyatukan berbagai kalangan. Malah di masa kolonial perjudian lebih tertib karena setiap wilayah ada aturan-aturannya bermain judi.
Di zaman sesudah kemerdekaan judi buntut merebak di beberapa kota. Salah satunya yang terkenal adalah Toto di Bandung. Judi buntut ini mengacu pada olahraga pacuan kuda di Lapangan Tegallega.
Soekarno melihat peluang ini. Ia pun kemudian di tahun 1960 an Soekarno melegalkan undian berhadiah yang dikelola oleh Yayasan Rehabilitasi Sosial. Pengundiannya dilakukan setiap satu bulan sekali. Nilainya pun cukup fantastis untuk ukuran tahun 1960-an mencapai 500.000 rupiah. Sementara nilai terendahnya berkisar antara 10.000-20.000 rupiah.
Tak ada pengawasan dari para ulama, membuat judi semakin merebak di masyarakat. Muncul Lotere Buntut, jenis undian berhadiah yang pengelolanya masing-masing dilakukan oleh sekelompok orang. Cara memainkannya hanya dengan menebak dua angka terakhir undian berhadiah yang dikeluarkan Yayasan Rehabilitasi Sosial.
Lotere Buntut ini bertebaran hingga ke pelosok-pelosok. Sasarannya adalah petani, buruh, dan pedagang-pedagang kecil. Tanpa memerlukan peraturan yang sulit, para pecandu permainan ini dapat langsung memasangkan taruhannya. Besaran hadiah yang didapat pun cukup menggiurkan, berkisar antara 60.000-80.000 rupiah.
Ketika judi menjadi candu, Soekarno akhirnya sadar. Bahwa judi sangat berpotensi merusak moral bangsa.
Maka kemudian pada tahun 1965 ia menghentikan seluruh aktivitas perjudian melalui Surat Keputusan Presiden nomor 113 tahun 1965, bahkan ia masukan perjudian ke dalam kategori kejahatan subversif.
Kemudian Keppres pelarangan perjudian tersebut dikuatkan pada era Orde Baru melalui penerbitan Undang-Undang nomor 11 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Namun sebelum undang-undang terbit, Gubernur DKI saat itu Ali Sadikin dengan alasan menyokong pembangunan sempat melegalkan judi.
Selama 11 tahun (1966-1977) Ali Sadikin meresmikan sebuah kasino milik pengusaha Apyang dan Yo Putshong. Hasilnya tak sia-sia. Anggaran pembangunan DKI yang semula cuma Rp 66 juta melonjak tajam hingga lebih Rp 89 miliar dalam tempo sepuluh tahun. Artinya rata-rata per tahun sekitar Rp 890 juta, melonjak lebih dari 1000 persen.
Ali Sadikin pun membangun sekolah, puskesmas, pasar. Ia membenahi Kota Jakarta menjadi standard metropolitan, dan berhasil.
Keberhasilan Ali Sadikin membangun Kota Jakarta dari hasil judi berdampak pada yang lain. Misalnya, untuk menghimpun dana penyelenggaraan PON VII di Surabaya pada 1969, Pemda Surabaya menerbitkan Lotto alias Lotres Totalisator. Kemudian muncul juga Toto KONI yang selesai tahun 1974.
Tahun 1976 Depsos melakukan studi banding ke Inggris untuk menerbitkan forecast yang tidak menimbulkan ekses judi karena sifatnya hanya tebak-tebakan. Namun dengan memperhitungkan segala dampak, termasuk untung ruginya, forecast baru bisa terlaksana tujuh tahun kemudian.
Namun baru pada 28 Desember 1985, Lotere berhadiah Porkas sepak bola resmi beredar. Porkas merupakan kepanjangan dari Pekan Olahraga Ketangkasan. Ini maksudnya untuk menghimpun dana masyarakat guna menunjang pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga Indonesia.
Lotere Porkas terdiri dari 14 kolom. Pengundiannya setiap seminggu sekali setelah tim sepak bola yang ada di dalam kolom tersebut selesai melakukan 14 kali pertandingan. PSSI turut membantu dalam penentuan jadwal pertandingan sepak bola dalam negeri maupun luar negeri.
Harga pembelian Lotere Rp 300 dan setiap pemain akan menebak mana tim yang menang, seri, atau kalah. Untuk orang yang berhasil menebak 14 pertandingan dengan benar akan mendapat Rp 100 Juta.
Pada 11 Januari 1986, penarikan pertama Porkas. Sampai pada akhir Februari 1986, dana bersih yang berhasil terkumpul dari penyelenggaraan Porkas mencapai Rp 1 Miliar. Membuktikan bahwa Lotere Porkas ini sangat banyak peminatnya.
Pertengahan tahun 1986, pengedaran Porkas melalui sistem Loket. Untuk para distributor, agen, sub-agen yang terbukti melakukan penyimpangan akan langsung ada sanksi pemecatan dari Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS).
YDBKS adalah sebuah yayasan yang mengelolan undian tanda sumbangan berhadiah. Target sampai akhir tahun saat itu adalah Rp 13 Miliar. Baru sampai Oktober 1986, uang yang terkumpul sudah mencapai Rp 11 Miliar.
Pada akhir tahun 1987, Porkas mengubah namanya menjadi Lotere Sumbangan Olahraga Berhadiah (SOB). Kali ini berbeda dengan Lotere Porkas. Dalam SOB ada dua macam Lotere. Yang pertama kita tidak lagi menebak menang, seri, dan kalahnya saja tetapi juga skor pertandingan, baik itu babak pertama maupun babak kedua. Sedangkan Lotere yang kedua, berisi tebakan sepak bola dan tebakan huruf. Masyarakat semakin ramai yang bermain Lotere SOB ini. Terbukti, dalam kurun waktu satu tahun SOB bisa mengumpulkan dana masyarakat sebesar Rp 221,2 Miliar.
SOB berganti nama menjadi Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB). Pada Pertengahan tahun 1988 Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi Persatuan Pembangunan menyatakan TSSB menimbulkan efek negatif. Yaitu tersedotnya dana masyarakat daerah pedesaan yang akan memengaruhi kehidupan perekonomian daerah.
Pertengahan bulan Juli 1988, Mensos Dr. Haryati Soebadio melakukan rapat kerja dengan Komisi VIII DPR. Ia menegaskan kalau TSBB sudah menyedot dana masyarakat sebesar Rp 962,4 Miliar. Kenaikan yang sangat signifikan sebanyak empat kali lipat. Namun pada 1 Januari 1989, TSSB berhenti dan berganti nama baru, yaitu Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).
SDSB terbagi menjadi dua Lotere. Lotere pertama berharga Rp 5.000 dengan hadiah Rp 1 Miliar dan Lotere kedua berharga Rp 1.000 dengan hadiah Rp 3,6 Juta. Sebanyak 30 Juta lembar beredar setiap minggunya. 1 Juta lembar untuk Lotere pertama dan 29 Juta lembar untuk Lotere kedua.
Demo mahasiswa dan penolakan dari pihak MUI membuat pemerintah akhirnya mencabut dan membatalkan pemberian izin SDSB pada 25 November 1993. Lotere SDSB pun lambat laun menghilang.
Reporter: Desmonth Redemptus Flores So