MATA INDONESIA, JAKARTA – Kota langganan banjir, adalah julukan yang ibu kota Jakarta. Persoalan mengenai banjir bukan hanya terjadi di masa-masa ini, melainkan sudah terjadi sejak zaman terdahulu.
Jakarta menjadi kawasan yang rawan banjir. Hal ini karena keadaan tanahnya yang cenderung cekung dan tidak stabil. Di tambah lagi, ada sekitar 13 sungai yang melalui Jakarta dan berpotensi meluap ketika curah hujan sedang tinggi. Keadaan geografis inilah yang menjadi faktor penyebabnyanya.
Belanda pun, sebagai negara penjajah, kala itu sudah dapat mengenali karakteristik wilayah Batavia (nama Jakarta saat itu). Namun mereka tak mempersoalkan hal itu karena mereka telah terbiasa hidup di wilayah yang sebagian wilayahnya berada di bawah garis permukaan laut.
Sebagai negara dataran rendah, Belanda juga menghadapi persoalan yang sama dengan Batavia, namun mereka dapat menyiasatinya dengan melakukan teknologi rekayasa sistem kanal dan irigasi.
Dan hal itulah yang dilakukan oleh Belanda kepada Batavia. Sebagai wilayah yang menjadi pusat kegiatan VOC di Asia, Belanda ingin mengkondusifkan kondisi di Batavia. Akhirnya, Gubernur Jenderal saat itu Jan Pieterszoon Coen pun meminta arsitek Belanda untuk merancang Batavia seperti kota-kota di Belanda, yang dilakukan dengan teknologi rekayasa sistem kanal.
Mereka mulai melakukan sistem rekayasa dengan cara menambahkan kanal-kanal air agar luapan dapat tersebar dan juga berupaya meluruskan sungai Ciliwung. Usai pembangunan rekayasa selesai, sistem ini pun berhasil dijalankan untuk mengantisipasi banjir.
Hingga akhirnya, pasca pasca Gunung Salak meletus di tahun 1696, banjir besar pun turut datang. Bahkan, material dari letusan Gunung Salak pun ikut terbawa arus banjir hingga ke Batavia.
Endapan lumpur hasil letusan juga ikut terbawa dan mengakibatkan penambahan garis pantai sekitar 15 kilometer dalam setahun. Endapan lumpur inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya banjir.
Akhirnya, setiap musim kemarau Belanda memerintahkan penduduk pantai utara Jawa untuk mengeruk lumpur, menggali sungai-sungai yang dangkal, serta membersihkan kanal-kanal dari limbah industri dan sampah.
Pengerukan endapan di sungai itu dilakukan karena air tidak bisa menyerap ke dalam tanah. Oleh sebabnya ia mencari alternatif lainnya untuk membersihkan sungai, yakni dengan cara pengerukan.
Selama menguasai Batavia, Belanda tak hanya melakukan rekayasa sistem kanal belaka, namun ia juga mendirikan Heemraden di Batavia, sebuah lembaga milik VOC yang bertugas untuk mengurus permasalahan infrastruktur yang berkaitan dengan air di wilayah ommelanden (Jabodetabek).
Menurut catatan sejarahnya, tidak ada lembaga serupa Heemraden versi VOC di negara-negara jajahan Belanda lainnya.
Sayangnya, masa-masa kekuasaan VOC berakhir dengan likuidasi dan kebangkrutan VOC. Lembaga pengurus kota termasuk Heemraden pun selesai.
Dan di masa inilah lambat laun Batavia menjadi tidak terurus lantaran pengerukan sungai terhenti. Pengerukan yang berhenti juga karena tidak adanya komando dari pengurus kota.
Kemudian, sebagai informasi, pembangunan rekayasa sistem kanal dan pembenahan kota Batavia oleh Belanda tidak berjalan lagi. Hal ini karena pemerintah kolonial Belanda hanya membenahi wilayah Batavia yang menjadi lokasi dari VOC dan tempat tinggal orang Belanda saja. Sementara wilayah Batavia di luar dari itu tidak ada yang mengurus.
Upaya penanggulangan banjir di awal abad ke-20 oleh Insinyur Herman van Breen. Dalam upaya tersebut, ia membuat dua banjir kanal, yakni banjir kanal timur dan banjir kanal barat, serta membuat beberapa pintu air.
Sama seperti rekayasa sistem kanal, upayanya berhasil mengatasi permasalahan banjir di masa itu. Namun untuk masa kini, tentu perlu peningkatan upaya, melakukan penganalisisan ulang terkait daerah yang memiliki kepadatan penduduk dan karakteristik wilayah. Hingga perlunya revitalisasi.
Mengenai penanganan banjir di Jakarta saat ini, sudah seharusnya Pemprov DKI Jakarta melakukan penanganan secara komprehensif dari hulu ke hilir. Jadi tidak hanya melalui infrastrukturnya saja, namun juga perlu menanamkan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam.
DKI harus banyak belajar dari Belanda di masa kini untuk melakukan langkah intensif pencegahan banjir. Dengan demikian, Jakarta dapat terbebas dari bencana banjir.
Reporter: Intan Nadhira Safitri