Oleh: Aldo Setiawan Fikri )*
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Maros secara tegas menyatakan bahwa Pangissengana Tarekat Ana’ Loloa adalah aliran sesat. Keputusan tersebut diambil setelah dilakukan investigasi mendalam terhadap ajaran yang dibawa oleh Petta Bau, seorang perempuan berusia 59 tahun yang menjadi pemimpin kelompok itu.
MUI Maros bersama tim koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) Maros telah menetapkan maklumat resmi terkait penghentian dan pembinaan ajaran yang dianggap menyimpang tersebut.
Ketua MUI Maros, Syamsul Kahliq, menegaskan bahwa keputusan ini tidak hanya berdasarkan analisis keagamaan, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkan oleh penyebaran ajaran tersebut.
MUI Maros telah berkoordinasi dengan aparat kepolisian, kejaksaan, serta pemerintah daerah dalam mengatasi masalah ini. Upaya penghentian ajaran sesat ini diharapkan dapat mencegah semakin meluasnya pengaruh ajaran yang menyimpang tersebut di masyarakat.
Sekretaris MUI Maros, Ilyas Said, menyatakan bahwa berdasarkan data yang telah dikumpulkan, aliran tersebut memenuhi kriteria aliran sesat sebagaimana ditetapkan dalam fatwa MUI pusat.
MUI Maros menekankan bahwa ajaran tersebut tidak hanya bertentangan dengan prinsip dasar Islam tetapi juga berpotensi memicu konflik sosial di masyarakat. Oleh karena itu, ajaran Pangissengana Tarekat Ana’ Loloa dihentikan, sementara pimpinannya dan para pengikutnya akan dibina agar kembali ke ajaran Islam yang benar.
Salah satu penyimpangan utama yang menjadi dasar keputusan ini adalah ajaran kelompok tersebut yang menyatakan bahwa rukun Islam berjumlah sebelas, bukan lima seperti yang telah ditetapkan dalam Islam.
Selain itu, mereka meyakini bahwa ibadah haji tidak wajib dilaksanakan di Makkah, melainkan bisa dilakukan di Gunung Bawakaraeng. Hal ini bertentangan dengan prinsip Islam yang mengajarkan bahwa haji merupakan ibadah yang hanya sah dilakukan di tanah suci Makkah.
Selain menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan Islam, aliran ini juga diketahui memiliki praktik yang meresahkan. Petta Bau diduga menjual benda pusaka kepada pengikutnya dengan klaim bahwa benda tersebut bisa menjadi kunci masuk surga.
Kepala Kementerian Agama (Kemenag) Maros, Muhammad, mengungkapkan bahwa benda pusaka yang dijual oleh Petta Bau kerap menjadi daya tarik bagi pengikutnya. Benda tersebut dijual dengan harga bervariasi, sebelumnya sekitar Rp 500 ribu, dan diduga sebagai cara Petta Bau untuk meraup keuntungan pribadi.
Praktik ini dianggap sangat berbahaya karena dapat menyesatkan para pengikutnya dengan memberikan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Selain itu, penjualan benda pusaka ini juga semakin memperkuat dugaan bahwa ajaran tersebut dijalankan dengan motif ekonomi. Dengan memanfaatkan kepercayaan para pengikutnya, Petta Bau berhasil memperoleh keuntungan secara tidak wajar.
Upaya pembinaan terhadap pengikut aliran ini telah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk penyuluh agama, aparat kepolisian, serta perangkat desa. Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Tompobulu, Danial, yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Deteksi Dini dan Penanganan Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan, menyampaikan bahwa pemerintah berkomitmen untuk memberikan pembinaan terhadap Petta Bau dan para pengikutnya. Kemenag akan berkoordinasi dengan MUI serta organisasi keagamaan Islam lainnya untuk memastikan bahwa para pengikut aliran ini mendapatkan pemahaman Islam yang benar.
Sejak kemunculannya di Dusun Bonto-bonto, Desa Bonto Somba, Kecamatan Tompobulu, Maros pada tahun 2024, aliran Pangissengana Tarekat Ana’ Loloa telah menjadi perhatian masyarakat.
Pada Oktober 2024, aparat dan MUI sempat menghentikan aktivitas ajaran tersebut, namun Petta Bau kembali menyebarkan ajarannya pada awal tahun 2025. Salah satu peristiwa yang memicu perhatian besar adalah ketika kelompok ini menggelar acara Maulid pada 1 Januari 2025 dan hendak menyembelih seekor sapi sebagai bagian dari ritual mereka.
Tindakan tegas yang diambil oleh MUI Maros dan pemerintah daerah diharapkan dapat mengembalikan ketenangan di masyarakat. Dengan dihentikannya ajaran ini serta dilakukan pembinaan terhadap pengikutnya, potensi konflik sosial yang lebih besar dapat dicegah. Langkah ini juga menegaskan komitmen pemerintah dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan melindungi masyarakat dari paham-paham yang menyimpang.
Ke depan, pengawasan terhadap aliran-aliran keagamaan yang berpotensi menyesatkan akan terus diperketat. Kolaborasi antara pemerintah, aparat penegak hukum, serta organisasi keagamaan menjadi kunci dalam memastikan bahwa ajaran Islam yang berkembang di masyarakat tetap berada dalam koridor yang benar.
Dengan adanya pengawasan ketat dan langkah pembinaan yang berkelanjutan, diharapkan tidak ada lagi ajaran sesat yang dapat menyesatkan umat Islam dan mengganggu ketertiban sosial.
)* Pengamat Kebijakan Sosial – Lembaga Sosial Madani Institute