Para Pejabat Mari Setop Praktik Korupsi di Hari Kesetiakawanan Sosial

Baca Juga

MATAINDONESIA, JAKARTA – Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) diperingati setiap tanggal 20 Desember. Sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari perang mempertahankan kemerdekaan RI yang terjadi antara tahun 1945 -1948 yang juga mengakibatkan permasalahan sosial semakin bertambah.

Pada peringatan HKSN tahun 2020 ini, Direktur Jenderal (Dirjen) Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial (Kemensos) Edi Suharto mengajak semua pihak merekonstruksi semangat kesetiakawanan sosial sebagaimana pernah digelorakan di masa perjuangan melawan kolonialisme.

Ia pun menyerukan semua elemen masyarakat terutama pilar-pilar sosial seperti Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan, Karang Taruna, Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), pekerja sosial dan relawan lainnya, untuk merapatkan barisan, bersatu melawan Covid-19.

Sebaiknya peringatan HKSN setiap tahunnya bukan hanya seremonial saja, tetapi benar-benar mewujudkan nilai-nilai kesetiakawanan sosial seperti saat masa perjuangan dulu. Kondisi dulu dan sekarang memang sangat berbeda, namun jiwa dan semangat sebagai manusia pasti tetap sama.

Seperti saat ini ketika bencana Covid-19 melanda Indonesia. Perekonomian terpuruk akibat berbagai pembatasan untuk mencegah atau memutus mata rantai penularan virus berbahaya itu. Sehingga jumlah masyarakat miskin bertambah banyak, karena pengangguran akibat PHK, berkurangnya omzet pengusaha maupun UMKM, melemahnya sektor jasa serta pariwisata dan lain sebagainya.

Kini, saatnya solidaritas dan kesetiakawanan sosial itu diperkuat kembali dengan berempati kepada masyarakat yang terdampak. Kita tidak harus berharap kepada dana atau program pemerintah untuk menanggulangi dampak semua itu. Tetapi lakukanlah dengan kesadaran hati yang paling dalam, apa yang bisa kita lakukan untuk masyarakat, negara atau orang lain.

Sungguh miris bila kita hanya berharap kepada negara, apalagi dengan tega memanfaatkan uang negara yang notabene milik rakyat juga untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Sesuatu yang tidak manusiawi bila melakukan tindakan mengorupsi dana bantuan sosial, yang seharusnya justru kita mengorbankan dana pribadi untuk orang lain yang membutuhkan.

Namun, apa guna menggaungkan HKSN tetapi menghancurkan nilai solidaritas dan kesetiakawanan itu sendiri. Dugaan korupsi dana bansos Covid-19 oleh Mensos Juliadi Batubara dan kawan-kawan merupakan pukulan telak di tengah HKSN kali ini menyakiti hati masyarakat.

Kasus korpsi yang menjerat Menteri Sosial bukan kali ini saja. Dua menteri sebelumya juga terjerat kasus korupsi. Yaitu Bachtiar Chamsyah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan mesin jahit yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2004 dan APBN tahun anggaran 2006, pengadaan sapi potong yang bersumber dari APBN tahun anggaran 2004, serta pengadaan sarung tahun 2006 hingga 2008 yang dananya bersumber dari Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS).

Menteri Sosial RI yang menjabat sejak tahun 2001 hingga 2009 ini, ditahan oleh penyidik KPK sejak 5 Agustus 2010.
Selanjutnya Idrus Marham. Ia divonis 3 tahun penjara oleh majelis hakim Tipikor Jakarta, lantaran terbukti menerima Rp 2,25 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) melalui mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih terkait proyek PLTU Riau-1.

Jadi kepada para pejabat di Kementerian Sosial, jadilah pemimpin atau sosok panutan yang bisa dipercaya bila ucapan dan tindakannya ingin diikuti rakyat. Masyarakat pun tidak harus apatis dengan kondisi ini, karena masih banyak juga pemimpin dan orang-orang yang bisa dipercaya dan memiliki hati nurani.

Tetaplah ikhlas dengan solidaritas dan kesetiakawanan yang hakiki, karena sangat merugi bila rasa yang mulia terkontaminasi dengan keburukan orang lain.

Reporter : Mega Suharti Rahayu

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Judi Daring Ancam Ekonomi Keluarga: Saatnya Literasi dan Kolaborasi Jadi Senjata

Oleh: Ratna Soemirat* Fenomena judi daring (online) kini menjadi salah satu ancaman paling serius terhadap stabilitassosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Di tengah kemajuan teknologi digital yang membawakemudahan hidup, muncul sisi gelap yang perlahan menggerogoti ketahanan keluarga dan moral generasi muda. Dengan hanya bermodalkan ponsel pintar dan akses internet, siapa pun kini bisaterjerumus dalam praktik perjudian digital yang masif, sistematis, dan sulit diawasi. Pakar Ekonomi Syariah dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Satria Utama, menilai bahwa judi daring memiliki daya rusak yang jauh lebih besar dibandingkan bentukperjudian konvensional. Menurutnya, sasaran utama dari perjudian daring justru kelompokmasyarakat yang secara ekonomi tergolong rentan. Dampaknya langsung terlihat pada polakonsumsi rumah tangga yang mulai bergeser secara drastis. Banyak keluarga yang awalnyamampu mengatur pengeluaran dengan baik, kini harus kehilangan kendali keuangan karenasebagian besar pendapatan mereka dialihkan untuk memasang taruhan. Satria menjelaskan, dalam beberapa kasus, bahkan dana bantuan sosial (bansos) yang seharusnyadigunakan untuk kebutuhan pokok keluarga justru dihabiskan untuk berjudi. Hal ini, katanya, bukan lagi sekadar persoalan individu, melainkan ancaman nyata terhadap ketahanan ekonominasional. Ia menegaskan, ketika uang yang seharusnya digunakan untuk makan, biaya sekolahanak, atau keperluan kesehatan malah dipakai untuk berjudi, maka kerusakannya meluas hinggapada tingkat sosial yang lebih besar. Masalah ini juga diperparah dengan munculnya fenomena gali lubang tutup lubang melaluipinjaman online (pinjol). Banyak pelaku judi daring yang akhirnya terjebak utang karena tidakmampu menutup kerugian taruhan. Satria menilai bahwa bunga pinjol yang tinggi justrumemperparah keadaan dan menjerumuskan pelakunya ke dalam lingkaran utang yang sulitdiakhiri. Dalam banyak kasus, kondisi ini menyebabkan kehancuran rumah tangga, konflikkeluarga, hingga perceraian. Efek domino judi daring, katanya, sangat luas dan tidak hanyamerugikan pelakunya saja. Selain aspek ekonomi, Satria juga menyoroti persoalan perilaku konsumsi yang tidak rasional di kalangan masyarakat. Ia menilai bahwa budaya konsumtif yang tinggi membuat masyarakatlebih mudah tergoda dengan janji palsu “cepat kaya” yang ditawarkan oleh situs judi daring. Contohnya, jika seseorang rela mengeluarkan uang untuk rokok meski kebutuhan rumah tanggaterbengkalai, maka godaan berjudi dengan iming-iming hasil instan menjadi semakin kuat. Menurutnya, perubahan pola pikir masyarakat menjadi kunci utama untuk membentengi diri daribahaya ini. Lebih jauh, Satria menegaskan bahwa penanganan judi daring tidak cukup hanya denganpendekatan represif, seperti pemblokiran situs atau razia siber. Ia menilai langkah tersebutmemang penting, tetapi tidak akan menyelesaikan akar masalah tanpa adanya peningkatanliterasi ekonomi dan kesadaran digital masyarakat. “Permintaan terhadap judi daring itu besar, sehingga selama ada permintaan, pasokan akan terus bermunculan,” ujarnya dalam wawancara. Pemerintah, katanya, harus berani menyentuh aspek edukasi publik dengan memperkuat literasidigital, keuangan, dan moral agar masyarakat memiliki ketahanan terhadap jebakan dunia maya. Upaya memperkuat literasi digital dan kesadaran publik kini mulai mendapat perhatian dariberbagai pihak, termasuk dunia akademik. Salah satu contoh nyata datang dari UniversitasLampung (Unila) melalui inovasi bertajuk Gambling Activity Tracing Engine (GATE...
- Advertisement -

Baca berita yang ini