Pandemi Covid-19, Menyingkap Betapa Rapuhnya Sistem Pangan Global

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Pandemi Covid-19 yang melanda dunia memberikan dampak signifikan pada banyak aspek, salah satunya adalah soal ketahanan pangan dunia. Vice President Programs at The Global FoodBanking Network Douglas L. O’Brien mengatakan bahwa pandemi ini menyebabkan peningkatan signifikan terhadap permintaan makanan.

Dalam Peringatan Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada 16 Oktober, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan pandemi telah menyingkapkan betapa rapuhnya sistem pangan dan pertanian global serta memicu resesi ekonomi dunia.

Akibat resesi ekonomi, setidaknya 132 juta orang di dunia diprediksi menderita kelaparan sampai akhir tahun ini. Bahkan sebelum pandemi, lebih dari 2 miliar orang tidak memiliki akses yang tetap untuk makanan yang aman dan bergizi.

Perwakilan FAO di Indonesia Victor Mol mengatakan pandemi menambah kekhawatiran baru di area pangan dan pertanian. Namun, di saat yang sama, pandemi Covid-19 memberikan kesempatan untuk membangun kembali sistem pangan dan pertanian.

Di masa pandemi ini pemerintah telah memberlakukan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di beberapa daerah, masyarakat juga diminta untuk mengurangi kontak fisik dan melakukan pekerjaan dari rumah. Hal ini dapat berpengaruh pada produksi, distribusi, dan juga konsumsi pangan.

Petani selaku kunci dari pangan Indonesia selama masa pandemi ini diharapkan dapat tetap sehat dan bekerja dengan maksimal. Permasalahannya adalah sekarang ini jumlah petani di Indonesia banyak yang tergolong masuk ke usia tua, minim sekali jumlah petani yang berasal dari kalangan milenial.

Hal ini dapat berpengaruh pada produktivitas pangan. Mirisnya, penggusuran lahan dan kriminalisasi terhadap petani juga kerap terjadi, bahkan pada masa-masa pandemi seperti sekarang ini yang diharapkan masyarakat dapat saling berempati satu sama lain.

Permasalahan lain yang berkaitan dengan pangan adalah ketersediaan lahan. Sebagaimana diketahui, lahan pertanian kerap kali dialihfungsikan untuk keperluan tambang dan yang lainnya. Akibatnya, lahan untuk bertani menjadi semakin sempit bahkan menjadi rusak akibat tercemar oleh limbah -limbah dari tambang maupun pabrik.

Sarana untuk melakukan distribusi pangan juga menjadi terbatas sehingga terjadi kurangnya produktifitas pangan. Selain itu, dengan pola hidup masyarakat yang berubah, otomatis permintaan masyarakat sebagai konsumen pangan juga berubah.

Hal ini dapat mengakibatkan perubahan harga-harga pada produk pangan. Salah satu contoh nyata yang dapat dilihat adalah ketika kebanyakan restoran dan kafe ditutup, maka permintaan bahan pangan pun menurun.

Akhirnya, bahan pangan yang sudah terlanjur diproduksi dalam jumlah besar mengalami penurunan nilai jual. Banyaknya UKM yang akhirnya harus gulung tikar di tengah situasi pandemi serta banyaknya pekerja yang dirumahkan juga berpengaruh pada akses ekonomi masyarakat terhadap pangan dimana daya beli yang dimiliki masyarakat pun menurun.

 

Reporter : Syifa Ayuni Qotrunnada

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Flu Singapura Tak Ditemukan di Bantul, Dinkes Tetap Waspadai Gejala yang Muncul

Mata Indonesia, Bantul - Dinkes Kabupaten Bantul menyatakan bahwa hingga akhir April 2024 kemarin, belum terdapat kasus flu Singapura yang teridentifikasi. Namun, Dinkes Bantul tetap mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. "Kami belum menerima laporan terkait kasus flu Singapura di Bantul. Kami berharap tidak ada," ujar Agus Tri Widiyantara, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bantul, Sabtu 4 Mei 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini