MATAINDONESIA, JAKARTA – Sang putri Amazon Diana Prince alias Wonder Woman akhirnya kembali lagi ke layar lebar pada 16 Desember 2020. Sebelumnya Film Wonder Woman 1984 akan dirilis Juni lalu, tetapi harus mundur karena pandemi. AT&T harus memindahkan waktu perilisan film di layar lebar dan pada layanan streaming HBO Max.
Yang menarik, Wonder Woman 1984 tayang terlebih dahulu di bioskop Indonesia pada 16 Desember dan baru menyusul di Amerika Serikat pada 25 Desember.
1984 ini masih merupakan film lanjutan dari kisah “Wonder Woman” di tahun 2017. Wonder Woman menceritakan sepak terjang putri pejuang dari bangsa Amazon, Diana Prince (Gal Gadot) dalam membasmi kejahatan di tahun 1984.
Nah, mengapa judulnya harus 1984? Rupanya sutradara Patty Jenkins suka dengan era 1980 an. Pada masa itulah Wonder Woman pertama kali muncul sebagai sosok super hero. ”Kenapa 1984? Kami ingin membawa Diana Prince ke dunia modern dan tahun 1980-an adalah periode yang identik dengannya,” kata Patty Jenkins, 20 Desember 2020.
Sutradara ini menunjukan saat itu dunia sedang dilanda perang dingin.
Film ini dibuka dengan kejadian masa lampau di sebuah pulau Themyscira, tempat asal Diana. Di sana, Diana kecil (Lilly Aspell) digambarkan tengah mengikuti sebuah turnamen adu kekuatan fisik di sebuah stadium.
Diana sempat terjatuh dari kudanya. Namun dia cerdik dan mengambil jalan pintas untuk kembali ke arena tepat waktu. Mendekati akhir perlombaan, Jenderal Antiope (Robin Wright) menyeretnya keluar arena.
Antiope menasihati Diana tentang arti kejujuran karena Diana tampaknya tidak jujur dalam permainan tersebut.
”Kau ambil jalan pintas. Kau tidak bisa jadi pemenang karena kau belum siap dan ini memalukan. Tak ada pahlawan sejati yang lahir dari ketidakjujuran,” kata Antiope yang merupakan bibi Diana.
Adegan ini penting karena akan menjadi inti dari seluruh isi film yakni tentang makna sebuah kejujuran dalam kehidupan.
Disinilah film ini dimulai. Penonton kemudian diajak ke Washington DC Amerika Serikat pada 1984.
Transisi waktu terlihat sangat jelas dengan perubahan warna sinematografi yang awalnya serba emas dan glamor menjadi layar penuh warna dan segala hal berlebihan yang jadi ciri khas era 80-an mulai dari setelan olahraga warna-warni stabilo, tas pinggang, atasan dengan bantalan bahu sampai baju pengantin berlengan luar biasa gembung.
Mirip Spiderman, Superman dan Batman, di tahun ini, Wonder Woman dicitrakan sebagai sosok misterius yang berjibaku membasmi kejahatan. Akting Gal Gadot tak diragukan lagi. Ia mampu memerankan sosok Diana dengan segala ketangguhannya, seksi dan misterius.
Emosi Gadot juga sangat kentara saat Diana sang Wonder Woman ini patah hati, kesepian, ditinggal kekasih pilotnya, Steve Trevor (Chris Pine).
Kisah lantas berlanjut ke pertemuan Diana dengan rekan kerja barunya Barbara Minerva (Kristen Wiig), seorang perempuan kikuk yang terpesona dengan seosok Diana yang menurut dia keren, seksi dan kuat.
Tokoh lain yang muncul adalah Lord Maxwell (Pedro Pascal), seorang pria pengusaha yang memiliki misi mengumpulkan artefak kuno apa pun yang bisa didapatkan, sehingga akan membuatnya “sekuat dewa.”
Akibat ulah Lord Maxwell itulah, sejumlah “keajaiban” terjadi termasuk munculnya kembali Steve Trevor (Chris Pine), kekasih Diana yang dikisahkan tewas di film Wonder Woman pertama.
Film ini memang mendapat sorotan banyak kalangan. Meski ditengah situasi pandemik Covid 19, ratusan penonton menyerbu sejumlah bioskop di Jakarta. Beberapa ulasan dan kritikan pun mampir di berbagai sosial media setelah menonton film 1984 ini.
Kritikus film Angelica Jade Bastien dari Vulture dikutip dari CNBC, Minggu 20 Desember 2020, mengungkapkan, daya tarik Diana Prince adalah feminitas dan naluri keibuannya. Namun, karakter Diana tidak berkembang karena plot yang berantakan.
Kritikus Esther Zuckerman dari Thrillist juga menyatakan hal yang sama. Ia menyebutkan, film ini menyenangkan hanya saja plot yang diberikan berantakan. ”Ada banyak hal yang disukai di Wonder Woman 1984, seperti penampilan berani dari para pemain yang menyenangkan, kostum fantastis, dan arahan Patty Jenkins. Namun, plotnya kehilangan arah, tidak jelas tentang apa yang membuat karakter itu begitu hebat,” kata Zuckerman.
Selain menyoroti soal alur cerita yang buruk, kritikus juga mencibir efek CGI dalam film. Metamorfosis Barbara saat berubah menjadi Cheetah pun dianggap amat murahan.
Peter Debruge dari Variety membandingkan sosok Cheetah dalam komik yang seharusnya memiliki perawakan wanita nyaris telanjang dengan beberapa bintik di tubuhnya diterjemahkan jadi sosok mirip kucing dengan bulu-bulu di sana sini.
Meski dikritik habis-habisan betapa film ini plotnya berantakan, namun ada satu yang menonjol dari film ini adalah upaya Jenkins mengangkat isu feminisme lewat sejumlah adegan yang nampaknya diangkat dari pengalaman para perempuan sehari-hari.
Dalam film, Diana dan Barbara mendapatkan sejumlah perhatian pria yang mereka tak inginkan mulai dari gombalan-gombalan iseng, cat calling, sampai serangan seksual.
Bahkan seorang Diana Prince mengaku kepada Barbara yang sangat mengaguminya bahwa: “Hidupku mungkin tak seperti apa yang kau pikirkan. Kita semua mengalami kesulitan.”
Secara tak langsung, hal itu mengisyaratkan penyebab kehidupan Diana yang tertutup dan keinginan Barbara akan kekuatan.
Dalam satu adegan, Jenkins juga mengangkat sebuah ide yang sebenarnya lebih terasa sebagai obsesi para perempuan yakni perempuan bisa jadi pintar sekaligus seksi dan cantik ketika memakai sepatu-sepatu berhak tinggi.
Film ini juga terasa segar karena memberikan sudut pandang bagi para pemirsa, utamanya perempuan, bahwa tak ada batasan untuk menggantungkan cita-cita.
Dalam film berdurasi 151 menit ini, bahkan Wonder Woman pun bisa terbang dengan ketekadan hati yang kuat dan tentu saja kejujuran.
Jika Anda mau menonton, jangan buru-buru meninggalkan bangku bioskop karena ada sebuah adegan tambahan, post-credit, yang menjawab pertanyaan Diana dalam film
Reporter : Anggita Ayu Pratiwi