MATA INDONESIA, JAKARTA – Polemik sistem presidential threshold masih menjadi persoalan yang ramai hingga saat ini. Dan bagi sebagian orang, istilah tersebut memang masih kurang familiar.
Presidential threshold adalah sebuah syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau syarat minimal persentasi perolehan suara partai politik dan koalisinya untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Presidential threshold juga sebagai ambang batas pencalonan presiden. Sistem ini menjadi salah satu cara penyederhanaan partai politik yang terlibat dalam pencalonan presiden dan wakilnya.
Sehingga harapannya dapat menciptakan pemerintah yang stabil dan dapat meminimalisir adanya kesulitan dalam mengambil kebijakan dengan lembaga legislatif.
Dalam pilpres 2004, sistem presidential threshold memiliki syarat minimal 3% kepemilikan kursi di DPR. Atau 5% perolehan suara sah nasional. Kemudian pilpres tahun 2009, 2014, dan 2019 memiliki ketentuan yang sama, yakni memiliki 20% kepemilikan kursi di DPR atau 25% perolehan suara sah nasional.
Akibat dari diterapkannya sistem ini, partai politik yang tidak memenuhi syarat jumlah kepemilikan kursi di DPR sama sekali tidak memiliki peluang untuk mengusulkan paslon presiden dan wakilnya dari parpol mereka.
Sistem presidential threshold juga membatasi hak rakyat dalam menentukan calon pemimpin sesuai dengan hati nurani. Sistem presidential threshold nyatanya memaksa partai politik yang lebih kecil untuk berkoalisi dengan partai politik lain yang lebih besar, agar mereka memiliki peluang untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden dalam pilpres.
Banyak pengamat politik hingga parpol yang tak menyetujui adanya sistem presidential threshold sebesar 20% – 25% ini. Mereka menginginkan angka tersebut diperkecil hingga menjadi 15% atau bahkan 10%.
Mereka ingin kontestasi partai politik yang lebih luas, sehingga membuka kesempatan bagi parpol kecil yang memiliki paslon unggulan untuk bersaing. Hal ini juga untuk meminimalisir pengulangan pemilu seperti pada tahun 2019 yang dipenuhi polemik, dimana kala itu hanya tersedia dua pilihan paslon.
Akibatnya, muncul kubu-kubu pendukung paslon yang saling berkonflik dengan tajam, menjelek-jelekkan satu sama lain, menyebar hoaks, serta ujaran-ujaran kebencian. Hal ini tentu tak akan terjadi jika paslon yang diusung lebih dari dua. Meskipun memang tetap berkonflik, namun konflik yang ditimbulkan tidak setajam dua paslon.
Sadar atau pun tidak, sistem presidential threshold memicu ketergantungan partai politik yang lebih kecil pada parpol yang lebih besar. Parpol kecil akan berebut untuk dapat berkoalisi dengan parpol-parpol besar, seperti PDIP dan Gerindra.
Dengan pilihan paslon yang beragam, maka setiap parpol akan berusaha mencalonkan paslon terbaik mereka untuk bersaing. Hal ini berdampak baik bagi perpolitikan Indonesia, lantaran mereka bersaing dalam mengusung paslon yang berkualitas sehingga nantinya Indonesia dapat dipimpin oleh pemimpin yang berkualitas.
Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) berpendapat bahwa pemerintah memberlakukan sistem presidential threshold lantaran untuk mengurangi biaya penyelenggaraan pilpres. Jika paslon yang diusung hanya dua pasang, maka proses kontestasi tak memerlukan putaran kedua dan biaya yang banyak.
Titi mengatakan, jika sistem presidential threshold dihapus maka parpol akan lebih berani dan percaya diri untuk mengusungkan paslonnya tanpa harus ketergantungan dengan parpol besar.
Reporter: Intan Nadhira Safitri