MATA INDONESIA, JAKARTA – Tahun 1977, Radio Prambors yang dikenal sebagai radio anak muda dan berlokasi di Jalan Borobudur Menteng, Jakarta Pusat, mengukir sejarah baru dalam industri musik pop Indonesia. Mereka mengadakan sebuah ajang kompetisi cipta lagu bertajuk ‘Lomba Cipta Lagu Remaja’ Prambors (LCLR). Kenapa disebut sejarah baru ? Karena, dari lomba ini akhirnya terjaring sederet lagu-lagu yang memiliki karakter berbeda dengan musik pop yang tengah meraja di industri musik Indonesia.
Dikutip dari catatan Dennie Sakrie, di era paruh 70-an itu, musik pop Indonesia dikuasai oleh grup-grup pop seperti Koes Plus, Favorites Group, Panbers, The Mercy’s, hingga D’Lloyd. Rata-rata warna musik yang mereka tampilkan cenderung sama yakni kesederhanaan dalam melodi, akord, hingga pola penulisan lirik lagunya. Remy Silado, pengamat musik sohor saat itu, mengkritik bahwa terjadi pendangkalan tema dalam musik pop kita. ”Hampir semua lagu liriknya dipenuhi dengan kata ‘mengapa.” Tulis Remy Silado di majalah Prisma.
Selain ingin menggalang potensi kreatifitas anak muda dalam penciptaan lagu, Lomba Cipta Lagu Remaja ini, menurut Imran Amir dari Radio Prambors, sebagai ajang mendobrak stagnasi dalam industri musik pop yang cenderung memihak pada sisi komersial belaka. Akhirnya, musik pop cenderung datar dan mencapai titik kulminasi. Hampir tidak ada terobosan baru.
Sebetulnya semangat membuat sesuatu yang baru telah dilakukan sejumlah pemusik semisal Harry Roesli, Leo Kristi, Guruh Gipsy, dan yang lainnya. Tapi, karya-karya semacam itu tak pernah dilirik oleh para pengusaha rekaman, karena dianggap tidak memiliki daya jual. ”Saat itu musik pop kita tak ubahnya dagangan yang hampir tidak memikirkan kualitas,’’ ujar Sys NS, salah satu panitia LCLR Prambors.
Memang, pada saat itu telah kokoh berdiri ajang Festival Lagu Pop Indonesia yang dirintis sejak tahun 1971. Tapi, ajang ini dari tahun ke tahun terbelenggu dalam pola musik yang nyaris tak berkembang. Justru LCLR bisa dianggap lebih hirau dengan tren musik yang tengah berkecambah di penjuru dunia.
Itu jelas tercermin pada Lomba Cipta Lagu Remaja 1977 yang berhasil menetaskan lagu Kemelut karya Junaedi Salat sebagai juara 1 dan Lilin-lilin Kecil karya James F Sundah yang terpilih sebagai lagu yang paling banyak disukai pendengar dengan istilah ala Prambors: ‘Lagu Tersayang’.
Dari deretan 10 pemenang LCLR 1977, itu terdapat tiga tembang yang diciptakan oleh Kelompok Vokal SMA III Jakarta yang berada di kawasan Setiabudi, masing-masing Akhir Sebuah Opera, Angin, dan Di Malam Kala Sang Sukma Datang.
Siswa siswa SMA III yang menulis lagu-lagu itu adalah Fariz RM, Adjie Soetama, dan Raidy Noor serta Iman RN , yang di kemudian hari dikenal sebagai penggerak musik pop Indonesia.
Pada LCLR 1978 terpilih lagu Khayal karya Christ Kaihatu dan Tommy WS sebagai juara 1. Namun, lagu Kidung karya Christ Manusama, terpilih sebagai ‘Lagu Tersayang’ berdasarkan polling pendengar.
Dari ajang LCLR ini tercatat menghasilkan sederet pencipta lagu yang kemudian memberikan kontribusi terhadap konstelasi musik pop Indonesia mulai dari James F Sundah, Baskoro, Chris Manuel Manusama, Harry Sabar, Fariz RM, Raidy Noor, Adjie Soetama, Ikang Fawzy, dan Dian Pramana Poetra. Terus ada lagi nama Bagoes A Ariyanto, Sam Bobo, Christ Kaihatu, Tommy Marie, Ingrid Widjanarko, Denny Hatami, Edwin Saladin, Didi AGP, Iszur Muchtar, Yovie Widianto, Bram Moersas, Roedyanto, dan masih banyak lagi.
Gaung ajang LCLR ini memang menggetarkan industri musik pop negeri ini. Secara kebetulan, pada era 1977-1978 sederet pemusik kita memang tengah bersemangat menghasilkan karya-karya yang merupakan alternatif dari musik pop yang tengah bertahta. Mereka adalah Chrisye, Keenan Nasution, Eros Djarot, God Bless, Noor Bersaudara, Harry Roesli, Giant Step, dan masih banyak lainnya.
Coba saja simak tata musik yang disajikan Yockie Soerjoprajogo dalam LCLR 1977 dan 1978 yang cenderung mengadopsi anasir musik rock progresif yang didominasi instrumen keyboard, seperti yang terdengar pada grup-grup mancanegara Genesis, Yes, maupun Emerson Lake and Palmer. Aransemen yang kerap disebut berciri simfonik ini cenderung menghasilkan atmosfer musik yang lebih megah dan tebal.
Lalu simaklah aransemen LCLR 1979 yang digarap Debby Nasution dan Addie MS dengan penonjolan pada warna klasik dan rhythm and blues. Debby yang terpengaruh atmosfer klasik Johann Sebastian Bach banyak menghadirkan suara hammond organ sedang Addie MS terlihat mengadopsi gaya soul R&B ala Earth Wind & Fire.
Pengaruh jazz mulai terlihat pada LCLR 1980 yang tata musiknya digarap Abadi Soesman dan Benny Likumahuwa. Pada saat bersamaan tren musik memang tengah diramaikan oleh musik bercorak jazz. Kesimpulannya, ajang LCLR ini memang selalu mengedepankan tren musik yang tengah merebak.
Pengaruh LCLR ini kedalam industri musik pop kreatif memang luar biasa. Dikutip dari widiasmoro.com, Pop Kreatif intinya adalah lagu-lagu yang saat itu yang tidak berlirik cengeng, dan membawa semangat modernisasi, dengan memasukkan unsur fussion, genre gabungan jazz, rock dan funk, atau kadang elemen musik electronica, genre musik dengan instrumen elektronik.
Salah satu anak SMA III Jakarta yang berhasil membuat fenomena adalah Fariz RM. Pada Juni 1980, Fariz mengeluarkan album Sakura. Fariz dulunya adalah drummer Badai Band dan ikut menyumbangkan permainan drumnya di album soundtrack film Badai Pasti Berlalu (1977). Fariz juga finalis LCLR Prambors 1977 bersama SMA III Vokal Grup, serta menyumbangkan lagu ciptaannya Cakrawala Senja di album solo debut Keenan Nasution “Di Batas Angan Angan.
Kejeniusan Fariz RM dengan kemampuan memainkan banyak instrumen musik ini berhasil menjejalkan musik bernuansa R&B,funk serta sedikit rasa jazz dengan aksentuasi pada rhythm section berbumbu sinkopasi. Eklektika musik semacam ini dalam industri musik dan radio kerap dikategorikan sebagai Adult Contemporary Music. Sajian musik ala Fariz RM ini lalu direspons anak muda kalangan menengah keatas.
Di tahun yang sama, Dian Pramana Poetra berhasil mengukir prestasi sebagai finalis Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors Rasisonia 1980 lewat lagu bertajuk “Pengabdian” yang dinyanyikannya bersama Bourest Vokal Grup.Tahun 1982 Dian Pramana Poetra merilis album solo debut bertajuk Indonesia Jazz Vocal (Jackson Record and Tapes).Musik yang ditampilkan merupakan perpaduan antara jazz,pop dan R&B.
Lagu-lagu yang disebar oleh Fariz RM dan Dian Pramana Poetra memang berhasil memikat penyimaknya yang berasal dari kalangan pelajar maupun mahasiswa dengan status sosial menengah keatas.
Sejak tahun 1977,ketika album Badai Pasti Berlalu dan LCLR Prambors Rasisonia 1977 dengan hits Lilin Lilin Kecil yang dinyanyikan Chrisye, berhasil menembus musik popular Indonesia yang saat itu didominasi oleh Koes Plus maupun penyanyi-penyanyi solo seperti Bob Tutupoli, Arie Koesmiran, Eddy Silitonga hingga Hetty Koes Endang. Lagu-lagu pop yang dipelopori Chrisye dkk ini dengan pola penulisan lirik yang lebih variatif dan tata musik yang lebih kaya serta elegan oleh media saat itu kerap ditulis sebagai musik gedongan .
Fariz RM dan Dian Pramana Poetra adalah generasi berikutnya dari musik pop yang diistilahkan sebagai musik gedongan tersebut.
Istilah pop kreatif sebenarnya muncul dari Seno M Hardjo, seorang wartawan. Seno merasa perlu untuk mengkategorikan lagi jenis musik pop yang beredar dikalangan masyarakat. Maka muncullah istilah Pop Kreatif dari benak Seno M Hardjo yang kemudian didukung pula oleh Bens Leo, wartawan dari majalah Gadis, untuk mengkategorikan musik atau lagu yang disajikan Guruh Sukarno Putra, Eros Djarot, Chrisye, Keenan Nasution, Harry Sabar, Junaedi Salat, Debby Nasution serta Fariz RM dan Dian Pramana Poetra.
Logika Seno M Hardjo berbicara bahwa musik-musik mereka ini terasa memiliki aura kreatif mulai dari pemilihan melodi,akord dan tata aransemen hingga thesaurus kata yang dip;ilih saat menuliskan lirik.Tegasnya,Pop Kreatif ini adalah istilah untuk membedakannya dengan musik pop mendayu-dayu atau seperti yang diistilahkan Harmoko saat itu : Pop Cengeng .
Pop kreatif kemudian menemukan masanya saat muncul tiga anak muda dari kawasan Tebet Jakarta yang mendirikan Kla Project.
Band yang didirikan tahun 86 ini seolah membuka khasanah baru yaitu pop kreatif dan alternatif dari ‘pop cengeng’. Istilah Pop cengeng adalah istilah dari mantan Menteri Penerangan (saat ini Kemkominfo) Indonesia Harmoko untuk lagu pop bernuansa sendu.
Kla banyak terpengaruh oleh musik ala Fariz RM dan lirik Ebiet G Ade. Selain itu musik KLa Project juga dipengaruhi band asal Inggris Duran Duran dan Mr. Mister yang sama-sama mengusung genre new wave, genre yang identik dengan bunyi-bunyian elektronik dari alat musik synthesizer.
Pada 1989, KLa Project merilis album perdana dengan tajuk namanya sendiri dengan genre new wave, atau di Indonesia genre itu tergolong dalam pop kreatif. Lagu Tentang Kita berhasil menjadi hit sehingga mendongkrak nama KLa Project.
Nama KLa Project semakin meroket ketika merilis album Kedua (1990) dengan lagu Yogyakarta sebagai hit. KLa Project kian produktif pada dekade ’90-an. Hampir dua tahun sekali mereka merilis album, yaitu Pasir Putih (1991), Ungu (1994), V (1995), KLakustik 1 (1996), KLakustik II (1996), Sintesa (1998) dan KLasik (1999).
Dapat dikatakan akhir dekade ’80-an dan ’90-an adalah masa-masa kejayaan KLa Project. Mereka bukan hanya membuat album di era tersebut, namun KLa juga membuat konser tunggal, seperti Konser Ungu (1992), KLakustik (1996), Konser Empat Musim (2000), Five Senses (2006) dan KLa Returns (2009).
Selain itu, lagu yang direkam saat konser KLakustik di Gedung Kesenian Jakarta lewat dua album dianggap adalah keputusan yang sangat tepat.
Reporter: Fiolita Dwina Astari