MATA INDONESIA, JAKARTA – Korupsi menjadi kata yang tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Hampir setiap pemberitaan saat ini tidak pernah sepi dari kasus korupsi. Masyarakat juga agaknya sudah akrab dengan berbagai istilah yang berkonotasi dengan korupsi, seperti istilah sogok, uang kopi, salam tempel, uang pelicin, dan lainnya.
Perbuatan korupsi jelas dilarang dan diharamkan dalam Agama Islam karena menjadi salah satu bentuk pelanggaran dalam kepemilikan suatu barang atau harta.
Bentuk korupsi antara lain suap-menyuap. Ini merupakan perbuatan yang sangat tercela dan juga menjadi dosa besar.
Penyebab perilaku suap-menyuap sangat tercela adalah karena Islam memperhatikan keselamatan harta seseorang serta mengantisipasi supaya tidak berpindah tangan secara tidak sah. Perpindahan harta tersebut tidak dibenarkan karena penyuap menyerahkan hartanya dengan harapan penerima suap dapat menuruti kehendak penyuap.
Secara tegas Islam mengharamkan umatnya menempuh jalan suap, baik kepada penyuap, penerima suap, maupun perantaranya. Suap dapat menyebarkan kerusakan dan kezaliman dalam masyarakat. Dari suaplah muncul permainan hukum, yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi bebas sehingga orang tidak dapat memperoleh hak-haknya sebagaimana mestinya.
Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 188 disebutkan, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Ayat di atas menerangkan tentang larangan mengambil harta orang lain dalam bentuk apapun secara batil, yaitu memperoleh harta dari orang lain dengan cara tidak saling rida atau salah satu dari dua pihak merasa terpaksa.
Dari penjelasan tersebut, suap-menyuap adalah salah satunya. Larangan di atas berarti haram, maka suap itu haram.
Diriwayatkan pula dalam sebuah hadis, “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah Subhanahu wa ta’ala melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap.” (HR. Imam Ahmad)
Adapun sanksi moral bagi pelaku korupsi, seperti dikutip dari sebuah jurnal Media Neliti, adalah jenazahnya tidak dishalatkan, terutama bagi para pemuka agama ataupun tokoh masyarakat. Hal ini sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah SAW terhadap salah seorang sahabat yang melakukan korupsi pada waktu perang khaibar meskipun hanya dalam jumlah yang relatif kecil, yaitu dua dirham.
Sementara sanksi dunia bagi para pelaku korupsi tidak disebutkan secara jelas di dalam nash, sebagaimana hukum potong tangan bagi pencuri.
Bagi pelaku korupsi bukan berarti terbebas sama sekali dari kejahatan yang telah dilakukannya, pelaku korupsi harus dikenakan takzir, yaitu hukuman yang dijatuhkan atas dasar kebijaksanaan hakim karena tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis. Ini bertujuan untuk memberikan pelajaran kepada pelaku tindak kejahatan agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Perbuatan korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai seorang muslim. Umat muslim dituntut untuk bersikap jujur dan amanah. Dalam Islam, korupsi merupakan perbuatan fasad, yakni merusak tatanan kehidupan, mengancam jiwa dan harta banyak orang.
Harta yang didapat dari hasil korupsi adalah harta haram. Keharaman harta tersebut tidak berubah jadi halal meskipun digunakan untuk kebaikan atau kegiatan amal.
Oleh karenanya, jangan sekali-kali melakukan korupsi. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, semoga umat Islam di manapun berada dijauhkan dari perbuatan tercela ini.
Reporter: Safira Ginanisa