Keyakinan Ma’ruf Amin Raih Suara 70 Persen di Bengkulu

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA-Sebulan lagi, pemilihan presiden bakal digelar. Dua calon pasangan presiden dan wakil presiden terpilih terus melakukan pergerakan untuk mendulang suara di daerah. Salah satunya yang dilakukan Cawapres Ma’ruf Amin menargetkan meraih suara 70 persen di Provinsi Bengkulu.

“Berbagai cara dilakukan, termasuk door to door dari darat, udara dan langit. Kalau di Pulau Jawa mungkin agak sedikit halus, kalau di Sumatera karena karakter berbeda maka agak sedikit lebih tegas sesuai dengan semangat orang Sumatera,” ujarnya saat menghadiri Dialog Kerukunan Antar Umat Beragama di Grage Hotel, Provinsi Bengkulu, Rabu 20 Maret 2019.

Ma’ruf menceritakan bagaimana Presiden sekaligus capres Jokowi yang telah membangun landasan pemerintahan yang prorakyat. Ma’ruf merasa heran masih ada pihak yang menghujat pasangannya di Pilpres 2019 ini.

“Saya kecewa sama orang yang telah menjahati Presiden Jokowi, padahal beliau telah membawa banyak perubahan yang bermanfaat bagi bangsa, kok malah dimusuhi dan dihujat, harusnya kita dukung,” katanya.

Dalam kesempatan ini, Ma’ruf turut mengajak tokoh antarumat beragama bersama-sama menangkal paham intoleran. Sebab menurutnya, paham tersebut bisa bermunculan dari mana saja.

“Kita harus menjaga merawat keutuhan bangsa ini dan mencegah terjadinya konflik, mencegah terjadinya paham-paham intoleran baik dari kalangan Islam maupun non-Islam,” ujarnya.

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini