MATA INDONESIA, JAKARTA – Kapan hari raya Idul Adha di Indonesia? apakah ikut dengan kalendar global Arab Saudi atau penafsiran berdasarkan keputusan pemerintah?
Pertanyaan ini seringkali terjadi setiap tahun. Berbeda dengan perayaan Idul Fitri. Meski ada ada perbedaan namun tidak seribet saat perayaan Idul Adha. Hal ini berkaitan dengan wukuf sebagai puncak Ibadah Haji. Perayaan Idul Adha sehari setelah wukuf di Padang Arafah. Nah yang jadi masalah, Pemerintah Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara beberapa kali waktu wukufnya berbeda sehari dengan Arab Saudi.
Padahal, perbedaan Arab Saudi dengan Indonesia hanyalah empat jam saja. Sehingga banyak sekali orang yang terkadang meragukan keputusan pemerintah. Masa beda empat jam saja bisa berubah menjadi satu hari. Selain itu kenapa Indonesia yang berada di wilayah timur lebih terlambat satu hari dari waktu Arab Saudi yang posisinya berada di barat?
Hal ini karena adanya dikotomi antara Rukyatul Hilal dan Hisab. Kedua pendekatan tersebut sebenarnya kedudukannya setara dalam ilmu astronomi.
Pendekatan hisab adalah cara memperkirakan posisi bulan dan matahari terhadap bumi dengan proses perhitungan astronomis. Sedangkan, pendekatan rukyat adalah aktivitas pengamatan visibilitas hilal atau bulan sabit (bulan baru) saat Matahari terbenam sebagai penanda awal bulan.
Tapi tak perlu khawatir dan bermasalah dengan perbedaan itu. Karena penentuan tanggal adalah tanggung jawab dari pemerintah.
Tak hanya penentuan tanggal dan hari Idul Adha, masalah lainnya adalah soal kurban. Seperti kita ketahui, perayaan Idul Adha juga untuk memperingati kepatuhan Nabi Ibrahim terhadap perintah Allah untuk menyembelih Ismail, putranya.
Dalam Al Quran tidak menyebut secara eksplisit identitas anak yang dikorbankan Ibrahim: Ismail atau Ishak? Para ahli tafsir berasumsi bahwa anak itu adalah Ismail. Kendati sumber-sumber tafsir awal mengindikasikan adanya perbedaan pendapat dalam soal tersebut.
Sedangkan sumber-sumber Yahudi dan Kristen menyebut secara eksplisit bahwa Ishak adalah putra yang dikorbankan Ibrahim. Pengorbanan Ishak sebagaimana disebutkan dalam Kitab Kejadian pasal 22 termasuk sumber-sumber Yahudi seperti Talmud.
Dalam Al Quran tidak menyuguhkan kisah Ibrahim dan putranya secara detail. Al-Qur’an mengasumsikan audiensnya sudah mengetahui detail kisah tersebut, sehingga tujuan menarasikannya bukan untuk menyampaikan sebuah cerita. Namun fakta bahwa al-Qur’an tidak menyebut nama anak yang dikorbankan itu telah memunculkan beragam tafsir di kalangan Muslim awal.
Para ahli tafsir awal cenderung menyebut Ishak sebagai anak yang dikorbankan, bukan Ismail. Muqatil b Sulaiman (w.150/767), ahli tafsir paling awal secara tegas menyebut Ishak sebagai dzabih (anak yang disembelih).
Bahkan, hingga abad kesepuluh (atau keempat Hijriah) jumlah riwayat yang pro-Ishak dan pro-Ismail masih berimbang. Hal itu dapat terlihat dalam tafsir al-Tabari (w.310/923), yang merekam beragam pendapat para ulama terdahulu. Tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an, Tabari mencatat 17 riwayat yang mengidentifikasi Ishak sebagai anak yang mendapat perintah untuk menjadi kurban ayahnya, Ibrahim.
Baru pada masa Ibnu Taimiyah (w.726/1328) dan kemudian mendapat pengukuhan oleh muridnya, Ibnu Katsir (w.774/1373), pada abad keempat-belas, identifikasi anak yang menjadi kurban itu sebagai Ismail mendapat pengakuan luas. Dan menjadi kepercayaan umat Muslim hingga sekarang.
Untuk mendukung pandangannya, Ibnu Taimiyah bukan hanya mengaitkan berbagai kisah Ibrahim dalam Al Quran, tapi juga merujuk pada Alkitab. Misalnya, ia berargumen bahwa Ibrahim mendapat perintah untuk mengorbankan anak satu-satunya (Kitab Kejadian 22:2), tapi orang-orang Yahudi dan Kristen menambahkan nama Ishak.
Dalam agama Yahudi dan Kristen, Ishak merupakan figur penting yang darinya lahir nabi-nabi. Ia juga menjadi peran sentral melebihi saudara-saudaranya, Ismail dan anak-anak Keturah, istri Ibrahim yang tidak disebutkan dalam Al Quran.
Dalam tradisi Islam, Ismail memainkan peran lebih menonjol dan penting dari figur Ishak. Ismail juga digambarkan sebagai anak yang membantu Ibrahim membangun Kabah (Q. 2:127). Keduanya mengajarkan ritual haji yang kelak menjadi bagian dari rukun Islam. Walaupun peran Ismail masih berada di bawah Ibrahim, sumber-sumber Muslim di luar Al Quran menekankan keutamaan garis keturunan Ismail sehingga Nabi Muhammad pun diyakini sebagai keturunannya.
Pengasuh Pondok Pesantren Tahfiz Al-Quran LP3IA Rembang, Kiai Haji (KH) Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha memberikan pandangannya terkait hal itu. ”Di Indonesia, enggak terbayang ada perbedaan pendapat semacam ini. Itu memang ada dua pendapat, Ismail dan Ishak,” kata Gus Baha dalam pengajiannya di YouTube.
Gus Baha mengungkapkan, bahwa perdebatan ulama tentang siapa anak yang menjadi kurban oleh Ibrahim sebetulnya lebih mengarah kepada Ishak. Namun, dia meminta murid-muridnya untuk mengikuti pandangan umum umat Islam di Indonesia yang lebih mengarah kepada Ismail.
“Sepertinya yang benar adalah Ishak, tetapi karena yang terkenal di Indonesia Ismail, ya ikut saja,” ujarnya.
Penulis: Deandra Alika Hefandia