Inilah Negara yang Pertama Kali Mempraktikkan Korupsi

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia atau (Hakordia) setiap tanggal 9 Desember. Tujuannya, adalah untuk meningkatkan kesadaran, memberikan edukasi, dan menggalakkan sikap antikorupsi kepada publik.

Tentu kita semua tahu, korupsi adalah suatu bentuk perilaku curang yang orang-orang yang berkuasa dengan cara melakukan penyuapan. Tujuan dari korupsi adalah untuk mengutamakan kepentingan pribadi, atau dengan kata lain memperkaya diri sendiri.

Lalu, sebenarnya praktik korupsi sudah ada sejak kapan sih? Dan negara manakah yang pertama kali mempraktikkan korupsi?

Praktik korupsi pertama oleh para pejabat di dinasti Mesir Kuno. Hal ini tercatat dalam catatan sejarah Mesir kuno yang menceritakan praktik korupsi dalam sistem peradilan hukumnya.

Praktik korupsi tersebut berawal di periode New Kingdom di Mesir, yakni pada akhir masa pemerintahan Firaun Ramses III (1186-1155 SM).

Di masa ini, kepercayaan pada kedaulatan Ma’at (Dewi kebenaran, keadilan, hukum, kebijaksanaan, keteraturan, moralitas, musim, bintang, harmoni, dan keseimbangan kosmik) mulai runtuh. Hal ini karena Firaun Ramses III lebih mementingkan kehidupannya hura-hura di istana.

Perampokan terhadap makan-makam Firaun juga marak terjadi. Namun sayangnya, hukuman terhadap perampok tidak transparan.

Para perampok makam banyak yang melakukan penyuapan terhadap polisi, juru sita, serta juru tulis pengadilan, dengan menggunakan harta hasil curian makam. Bahkan, ada hakim pengadilan yang menjadi penadah harta curian makam.

Tindakan penyuapan tersebut menimbulkan peluang besar bagi aparat penegak hukum untuk melakukan korupsi. Banyak pula bermunculan saksi-saksi palsu dalam sistem pengadilan.

Aparat kepolisian yang tugasnya mengayomi serta memberikan kesaksian sejujur-jujurnya, ternyata malah melakukan tuduhan palsu terhadap seseorang.

Para polisi dengan seenaknya membawa orang yang tak bersalah ke pengadilan. Meminta orang tersebut untuk mendapat hukuman, selanjutnya polisi akan mengambil apapun dari tersangka.

Wazir (Perdana Menteri), yang seharusnya bertanggung jawab dalam menjaga keseimbangan negara dan menegakkan keadilan, nyatanya turut memperkaya diri sendiri hingga rela mengorbankan orang lain.

Dan yang paling parahnya, Firaun, sebagai pemimpin yang bertugas menjaga fondasi dan kekuatan seluruh peradaban, malah mementingkan kenyamanan hidupnya di istana daripada mengurusi jalannya alur pemerintahan dan administrasi hukum.

Praktik korupsi seperti ini terus terjadi hingga 200 tahun dalam periode akhir New Kingdom, sepanjang kepemimpinan Dinasti ke 20, hingga akhirnya New Kingdom runtuh.

Kejatuhan New Kingdom terjadi lantaran adanya perang perebutan daerah kekuasaan yang menghabiskan banyak dana. Selain itu, bencana alam akibat meletusnya gunung berapi Hekla makin memperparah keadaan.

Korupsi tak hanya terjadi di dalam penegakan hukum dan pemerintahan saja. Namun juga terjadi di bidang pekerjaan serta bidang agama, hukum, dan kerajaan.

Di pemerintahan Firaun Ramses III, saat pembangunan makam di Luxor, pernah terjadi keterlambatan pemberian upah para pekerja dan kekurangan sumber pangan. Karena hal ini, para pekerja melakukan aksi mogok kerja.

Aksi mogok kerja ini direspons oleh beberapa pejabat pemerintahan yang melakukan korupsi. Mereka memerintahkan para pekerja untuk mencuri properti kuil dan menjualnya kepada mereka.

Kemudian, korupsi di bidang agama, hukum, dan kerajaan, terjadi di periode menengah. Di mana pada periode ini, berdiri Sekte Amun, yang merupakan organisasi keagamaan paling kuat di Mesir bahkan pengaruhnya hampir melampaui otoritas kerajaan.

Di sekte ini, para pendeta akan bertindak sebagai hakim. Sebelum menentukan putusan terhadap terdakwa, pendeta akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan dewa.

Para tersangka di periode menengah akan dibawa ke hadapan patung Amun, lalu dewa akan memberikan vonis. Vonis ini sebenarnya diberikan oleh pendeta yang bersembunyi di belakang atau di dalam patung.

Namun, sistem pengadilan seperti ini tidak efektif, lantaran tidak adanya kesempatan pihak tersangka untuk memberikan sanggahan. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan pun bukanlah pertanyaan judisial, melainkan pertanyaan sederhana yang tidak mampu memberikan kepastian atas suatu kebenaran.

Karena posisinya yang tinggi dalam sistem pengadilan, banyak pendeta yang melakukan praktik korupsi.

Reporter: Intan Nadhira Safitri

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Peran Sentral Santri Perangi Judol di Era Pemerintahan Prabowo-Gibran

Jakarta - Kalangan santri dianggap menjadi salah satu elemen bangsa yang mampu terlibat aktif dalam pemberantasan Judi Online yang...
- Advertisement -

Baca berita yang ini