MATA INDONESIA, LONDON – Simpang siur soal varian baru virus Corona, Omicron hingga sekarang masih berlangsung.
Varian yang penyebarannya sangat cepat ke seluruh dunia diberinama Omicron sesuai dengan alfabeth Yunani. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelumnya menggunakan istilah alpha, beta, gamma dan delta untuk mengidentifikasi mutasi virus corona. Istilah tersebut dipakai karena dianggap bisa mempermudah pemahaman publik, dibandingkan kode angka dan huruf rumit yang biasa merujuk pada jenis virus yang dimaksud.
Namun, pemilihan terminologi ini menuai sejumlah kritik dari pengguna media sosial yang menilai WHO tidak konsisten dengan kebijakannya.
Pasalnya, organisasi kesehatan dunia ini melewatkan dua alfabet dalam bahasa Yunani sekaligus. Dua alfabet tersebut yakni ‘nu’ dan ‘xi’, langsung menggunakan kata Omicron sehingga tidak urut seperti seharusnya.
Ada yang menilai dua huruf tersebut dilewatkan agar tidak menyinggung perasaaan Presiden Cina, Xi Jinping. Namun, kabar tersebut langsung dibantah WHO yang menilai alfebet nu dan xi bisa dengan mudah memicu kesalahan penyebutan. “‘Nu’ terlalu mudah dikacaukan dengan ‘new,’ dan ‘Xi’ tidak digunakan karena itu adalah nama belakang yang umum,” kata WHO.
Mutasi
Ketika ilmuwan di Afrika Selatan menemukan varian Omicron, mereka mencatat beberapa hal menonjol.
Banyaknya mutasi versi virus ini. Ilmuwan sampai sekarang belum mendeteksi genetika kombinasi mutasi ini. ”Omicron muncul dengan sesuatu yang sama sekali berbeda,” kata Richard Lessells, pakar penyakit menular di Universitas KwaZulu-Natal. Lessells dan rekan-rekannya merasa bahwa sesuatu yang tidak biasa telah terjadi. Mereka yakin Omicron mengagetkan banyak orang karena berkembang dalam tubuh seseorang yang sistem kekebalannya yang lemah. Orang yang tinggal di kawasan sub-Sahara Afrika itu mengidap HIV dan tidak menjalani pengobatan.
Setelah berkembang dalam tubuh orang itu, Omicron kemudian menyebar ke lebih dari 40 negara.
Lantas mengapa asal muasal dan penyebab kemunculan Omicron menjadi begitu penting?
Asal Omicron
Kita tidak tahu pasti di mana Omicron berevolusi. Varian baru itu pertama kali muncul di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari Afrika Selatan pada 24 November 2021.
Mengetahui lokasi dan waktu suatu varian muncul penting bagi ilmuwan. Alasannya, dua hal itu memuat informasi tentang cara menahan penularannya.
Cara-cara mengatasi Omicron bisa berupa karantina wilayah atau pembatasan perjalanan. Meski, dua hal ini ternyata tidak efektif.
Para ilmuwan memiliki serangkaian petunjuk untuk membuat “tebakan ilmiah” tentang bagaimana Omicron muncul.
Lessells mencatat, Omicron secara substansial berbeda dengan varian virus corona yang sebelumnya muncul.
“Analisis genetik telah menunjukkan bahwa Omicron berada di cabang ‘pohon keluarga’ yang sama sekali berbeda,” ujarnya.
Lebih penting lagi, garis genetika Omicron tidak memiliki rekam jejak mutasi perantara yang lebih baru. Versi terdekat, kata Lessells, berasal dari pertengahan tahun 2020.
Kesenjangan itu menunjukkan Omicron yang bermutasi dan berevolusi ”Di bawah radar,” kata Francois Balloux, Profesor Sistem Biologi Komputasi di University College London.
“Varian ini telah melompat entah dari mana,” ujar Balloux. Dan mutasi tersebut sangat, sangat berbeda.
Analisis terhadap Omicron memunculkan temuan bahwa varian baru ini memiliki 50 mutasi. Lebih dari 30 mutasi terjadi pada protein spike– bagian dari virus yang menentukan bagaimana ia berinteraksi dengan pertahanan tubuh.
Sebagai perbandingan, varian Delta hanya memiliki tujuh mutasi.
Jadi bagaimana Omicron sangat berbeda dari varian virus corona sebelumnya?
Jika Sars-Cov-2 hilang dari tubuh kebanyakan pasien dalam waktu singkat, virus Corona justru bertahan lebih lama pada orang-orang dengan sistem kekebalan yang lemah.
Individu yang masuk golongan itu, antara lain pasien dengan penyakit seperti HIV, penderita kanker, dan penerima transplantasi organ.
Dengan resistensi yang lebih sedikit dari inangnya, virus corona berpeluang melakukan sejumlah mutasi.
Dalam tubuh dengan kekebalan yang kuat, mutasi biasanya membutuhkan sirkulasi yang lebih luas dalam suatu populasi.
Pada Desember 2020, sekelompok peneliti di Universitas Cambridge mulai waspada saat mendeteksi kemunculan mutasi kunci yang juga terlihat pada varian Alpha. Mereka menemukan itu pada sampel pasien kanker di Inggris yang meninggal akibat Covid-19 empat bulan sebelumnya.
Alpha adalah “variant of concern” pertama WHO. Varian ini dilaporkan pada September 2020 di Inggris.
Ketika itu, sampel yang mereka teliti berasal dari pasien yang telah meninggal 101 hari setelah diagnosis awalnya.
“Infeksi khas virus corona hanya berlangsung tujuh hari dan itu tidak cukup waktu bagi virus untuk beradaptasi dan berevolusi karena sistem kekebalan melawannya,” kata Profesor Ravi Gupta dari Institut Imunologi Terapi dan Penyakit Menular Cambridge.
Gupta adalah pemimpin penelitian yang pertama kali mendeteksi varian Alpha tersebut.
Menurut Gupta, infeksi kronis akibat sistem kekebalan tubuh yang lemah memberi lebih banyak ruang kepada virus untuk bermutasi.
Juni lalu, Lessells dan tim penelitinya mengumumkan hasil penelitian sampel virus corona dari seorang perempuan di Afrika Selatan, yang menderita HIV tanpa menjalani pengobatan.
Dalam analisis genetik berulang dari sampel itu, mereka menemukan “perubahan langkah signifikan” dalam evolusi virus. Para peneliti itu kemudian memperingatkan bahwa ini mungkin merupakan awal dari krisis kesehatan masyarakat.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada 1 Desember 2021 di jurnal ilmiah Nature, Lessells dan timnya memperkirakan delapan juta orang dengan HIV di sub-Sahara Afrika saat ini tidak menerima terapi antiretroviral yang layak.
Angka yang mereka sebutkan itu mencakup orang-orang yang belum pernah diuji apakah benar mengidap HIV.
Jika Lessells dan Profesor Gupta benar, maka orang-orang dengan kekebalan tubuh buruk tadi merupakan tempat berkembang biak yang ideal untuk varian baru virus corona.
Bagaimanapun, kelompok ilmuwan juga menyebut dua hipotesis masuk akal lain yang terkait asal usul Omicron.
Salah satu hipotesis itu menyebut Omicron bersumber dari hewan. Artinya virus corona menginfeksi populasi hewan. Dari situ, virus menyebar ke manusia, seperti yang dilakukan virus Sars-CoV-2 asli, menurut laporan WHO yang dirilis pada bulan Maret silam.
Namun Larry Corey menjelaskan, analisis genetik Omicron sejauh ini menunjukkan bahwa varian tersebut berevolusi pada tubuh manusia.
“Data menunjukkan bahwa hipotesis penularan di hewan hampir tidak mungkin,” kata Corey.
Menurut Profesor Balloux, timnya tidak menemukan cukup bukti yang terkait dengan penularan dari hewan.
Hipotesis kedua menyebut Omicron tidak berkembang dalam tubuh manusia, tapi dalam populasi di daerah yang minim pemantauan genetik, seperti di banyak negara Afrika.
Ahli biologi asal Brasil sekaligus peneliti independen, Atila Iamarino, percaya hipotesis ini bisa terjadi pada Omicron.
Iamarino melihat kesamaan kemunculan Omicron dengan varian Gamma, yang menyebabkan infeksi luas di kota Manaus, Brasil, pada awal 2021. Manaus merupakan wilayah paling padat penduduk di kawasan Amazon.
“Hipotesis yang sama tentang virus yang berevolusi pada satu orang dengan sistem kekebalan yang lemah ketika Gamma terdeteksi,” kata ahli biologi itu.
Iamarino yakin bahwa penelitian lebih lanjut dapat mengungkapkan skenario yang sama dengan Omicron. “Ini sesuai. Omicron terdeteksi di benua Afrika dengan pengujian dan pemantauan genetika yang lebih minim. Saya yakin Omicron telah beredar di Afrika lebih lama dari yang kita yakini saat ini,” ujarnya.
Pasien pertama?
Jadi akankah kita menemukan orang pertama yang terjangkit varian Omicron?
Mengidentifikasi orang pertama yang terinfeksi wabah penyakit tertentu krusial. Karena hal ini dapat menjawab pertanyaan penting tentang bagaimana, kapan, dan mengapa ada penyakit ini.
Jawaban-jawaban ini dapat membantu mencegah lebih banyak orang terinfeksi sekarang. Namun sejauh ini para ilmuwan belum menemukan pasien pertama tersebut, baik yang pertama kali mengidap Omicron maupun varian lainnya.
Richard Lessells yakin sangat kecil kemungkinan menemukan pasien pertama Omicron. ”Ini harus menjadi keseimbangan bukti yang mendukung satu atau lain kemungkinan asal muasal varian ini,” kata Lessells.
Meski begitu dia menganggap ada keuntungan jika kemunculan varian ini tidak muncul dari seseorang yang pertamakali mengindap varian ini.
“Salah satu hal yang tidak ingin kami lakukan adalah menambah stigma orang yang hidup dengan HIV,” ujarnya.
Sebaliknya, Lessells yakin hipotesis “sumber satu orang” harus menjadi alasan lain untuk meningkatkan vaksinasi di Afrika.
Saat ini penduduk Afrika yang sudah mendapat vaksin secara penuh belum mencapai 7 persen. Sebagai perbandingan, persentase secara global mencapai 40 persen.
Michael Head, Senior Research Fellow di Global Health, University of Southampton, menyebut pemerataan vaksin harus segera terwujud untuk mencegah munculnya varian Covid.
“Akan ada berbagai faktor yang berkontribusi pada munculnya varian baru, tapi ketidakadilan vaksin jelas merupakan salah satu alasan utama. Saya percaya bahwa Omicron adalah konsekuensi dari ketidakadilan ini di Afrika,” ujarnya.
Menurut Head, Omicron merupakan peringatan untuk memperluas cakupan vaksinasi. “Jika Anda tidak mendapat vaksinasi, Anda akan sakit parah dengan jangka waktu yang lebih lama,” katanya.
Reporter: BBC/Intan Nurlaila