Oleh: Wignyan Wiyono *)
Di tengah upaya membangun optimisme dan persatuan, muncul narasi “Indonesia Gelap”. Gerakan ini bukan kritik konstruktif, melainkan upaya adu domba yang merusak kohesinasional. Narasi pesimistis itu kerap dipicu oleh pihak-pihak yang menolak kehadirankepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, bukan atas dasar fakta objektif, melainkanmotivasi politik sempit.
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Ketua Umum PP Tunas Indonesia Raya, secara tegasmenilai bahwa narasi ‘Indonesia Gelap’ sengaja dilempar untuk memprovokasi keraguanpublik terhadap program pemerintah. Menurutnya, narasi Indonesia Gelap adalah sebuahnarasi yang memang digelontorkan dan dikompori oleh pihak-pihak yang mungkin tidak sukadengan kepemimpinan dari Prabowo Subianto. Pernyataan ini mengingatkan akan bahayapropaganda yang berakar pada sentimen negatif, bukan pada analisis rasional. Jika narasisemacam itu ditelan mentah-mentah, sama saja seperti membiarkan ilusi kegelapan menutupicahaya kemajuan yang tengah dirintis.
Pemerintah sendiri menegaskan ruang aspirasi publik tetap terbuka sepanjang disampaikandamai dan konstitusional. Gambaran ‘Indonesia Gelap’ hanya menciptakan ilusi ketakutanyang tidak relevan dengan kondisi nyata. Ekonomi nasional tumbuh positif, aktivitasmasyarakat berjalan normal. Narasi Indonesia Gelap justru bertentangan dengan fakta-faktaobjektif. Pernyataan ini menunjukkan perbedaan mencolok antara hoaks yang meracunipersepsi dan realitas perkembangan sosial-ekonomi yang stabil.
Kebenaran sosial harus diuji melalui bukti empiris dan argumentasi rasional, bukan sekadar“hoax test” politis. Narasi adu domba tumbuh subur ketika masyarakat kehilangankemampuan kritis.
Tidak hanya pemerintah, tokoh agama pun menyuarakan pentingnya literasi publik. Wakil Menteri Agama Romo HR Muhammad Syafi’i mengingatkan bahwa gerakan bernadapesimisme harus dijawab dengan meningkatkan kecerdasan kolektif. Menurutnya generasimuda harus lebih cerdas membaca situasi. Jangan sampai energi mereka dimanfaatkan olehpihak yang ingin merusak kohesi sosial bangsa. Kekuatan publik terletak pada dialog danpertukaran pikiran, bukan manipulasi ketakutan.
Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal juga memperingatkan tentang risiko tinggijika gerakan ‘Indonesia Gelap’ tidak disikapi dengan waspada. Ia menyebut ada pihak-pihakyang mencoba menyusupi gerakan mahasiswa dengan narasi kelam. Menurutnya, bukanhanya soal demonstrasi, tapi juga agenda besar yang bisa merusak tatanan kebangsaan. Penting untuk menjaga gerakan sosial agar tetap murni sebagai ekspresi aspirasi, bukaninstrumen agitasi politik.
Narasi ‘Indonesia Gelap’ berpotensi dimanfaatkan untuk membangun opini destruktif yang tidak mencerminkan kondisi faktual bangsa. Gerakan semacam ini patut dicurigai sebagaistrategi lama yang dikemas ulang. Ada beberapa alasan mendasar mengapa narasi “Indonesia Gelap” perlu ditolak. Pertama, narasi ini bertentangan dengan fakta objektif di lapangan. Indikator ekonomi, sosial, dan politik saat ini justru menunjukkan tren pertumbuhan danstabilitas, terbukti dari data Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, dan lembaga independenyang melaporkan perbaikan bertahap, bukan kehancuran.
Kedua, narasi pesimistis semacam ini memecah belah solidaritas nasional dengan memupukketidakpercayaan antarwarga dan mengikis semangat gotong-royong, padahal sudahselayaknya meneguhkan Pancasila yang menekankan persatuan dalam keberagaman. Ketiga, narasi ‘Indonesia Gelap’ mengalihkan fokus dari agenda konstruktif yang tengah dijalankanpemerintah dan masyarakat—seperti program ketahanan pangan, penciptaan lapangan kerjabaru, dan pembangunan infrastruktur—dengan malah memancing diskusi ke arah retorikaketakutan, bukan solusi substantif. Keempat, gerakan semacam ini rentan disusupi agenda politik sempit, baik dari pihak eksternal maupun internal, yang ingin memanfaatkan keraguanpublik demi kepentingan kekuasaan. Padahal kedaulatan rakyat tidak boleh dijadikan ajangperang opini; sebaliknya, harus dilindungi melalui dialog terbuka dan kritik konstruktifberdasarkan fakta.
Narasi pesimistis, bisa menutup ruang wacana rasional. Perlu deliberasi publik yang murni, di mana argumen diuji logika dan bukti, bukan retorika menakut-nakuti. Oleh karenanya, generasi muda mesti diajak belajar berpikir kritis, menelaah sumber informasi, dan berdiskusisecara produktif.
Menolak ‘Indonesia Gelap’ bukan berarti menutup mata terhadap masalah nyata—sepertiketimpangan, birokrasi yang berbelit, atau kemiskinan. Justru, kritik konstruktif sangatdibutuhkan. Kritik konstruktif akan berbasis data, dialog, dan semangat kebangsaan, bukansentimen negatif yang dimotori hoaks. Pemuda bangsa tentu berpikir jangka panjang dandapat terus berkontribusi sesuai bidang masing-masing, agar setiap warga negara mengambilbagian dalam proses pembangunan, bukan sekadar memojokkan.
Kesadaran kolektif untuk menolak propagasi kegelapan dan memajukan demokrasideliberatif menjadi jalan tengah membangun bangsa yang kuat. Indonesia perlu menguatkanjaringan literasi digital, memperkuat lembaga penegak hukum terhadap penyebar hoaks, sertamemperkokoh organisasi tingkat akar rumput agar masyarakat terhindar dari provokasi.
Indonesia bukanlah negeri gelap. Cahaya perkembangan ekonomi, inovasi sosial, dankemajuan demokrasi terus bertumbuh meski perlahan. Narasi ‘Indonesia Gelap’ hanyalahbayangan muram yang dapat disingkirkan dengan akal sehat, kritik berbasis data, dankebersamaan. Di tangan generasi muda yang kritis dan berbudaya, Indonesia akan terusmelangkah menuju masa depan yang cerah—sebagaimana visi Indonesia Emas 2045 yang tengah dirangkai bersama.