MATA INDONESIA, JAKARTA – Kalian tahu kan kalau tidak hanya hewan tapi manusia juga bisa punah loh. Parahnya, ini biasanya terjadi karena keegoisan manusia. Seperti yang terjadi pada Suku Piripkura. Penduduk asli yang tinggal di Hutan Amazon ini sekarang hanya tinggal 3 orang. Rita, Baita, dan Tamandua merupakan anggota terakhir suku Piripkura. Rita dan Baida adalah kakak adik sedangkan Tamandua adalah keponakan mereka berdua.
Dari ketiganya, Rita, wanita satu-satunya dari suku ini yang masih hidup sering berhubungan dengan orang luar. Sebaliknya Baita dan Tamandua menghabiskan hari-hari mereka dengan menjelajahi Hutan Amazon dan mengisolasi diri dari dunia luar.
Pembangunan peternakan yang ada di cagar alam dan juga pembalakan liar di Hutan Amazon merupakan faktor yang menyebabkan kepunahan suku Piripkura. Wilayah suku Piripkura terletak di negara bagian Mato Grosso, wilayah yang penting untuk agrobisnis Brasil. Sehingga peperangan antara suku Piripkura dengan para penebang dan petani tidak bisa dihindari. Para penebang menggunakan senjata modren sedangkan sulu Piripkura hanya menggunakan senjata tradisional.
Saat peperangan terjadi, puluhan orang mati dibantai. Sisanya melarikan diri ke tengah hutan. Saat perang, mereka berinteaksi dengan para penebang dan petani yang kemudian menularkan flu kepada mereka.
Virus ini menjadi sesuatu yang baru buat mereka akibatnya banyak penduduk Suku Piripkura meninggal karena serangan flu tersebut.
Sejak saat itu, suku Piripkura menjalani kebiasaan hidup baru menjadi pemburu nomaden. Satu persatu mereka tersingkir oleh perluasa wilayah Brasil. Pada tahun 1984, saat Funai menghubungi pihak suku Piripkura, para pekerja melaporkan tersisa 15 sampai 20 orang, namun sampai sekarang yang terlihat hanya mereka bertiga.
Leonardo Lenin, mantan koordinator Funai, Badan Urusan Adat Pemerintah Brasil, yang bekerja secara ekstensif dengan suku-suku di Mato Grosso, mengatakan bahwa para penebang dan petani ini selalu memburu suku-suku terasing di kawasannya.
Ketika Piripkura pertama kali dihubungi oleh Funai pada 1984, para pekerja melaporkan bahwa hanya ada 15-20 individu yang masih tinggal di seluruh area cagar alam.
Namun, hanya Baita dan Tamandua yang terlihat sejak 1990-an.
Fabricio Amorim, pakar masyarakat adat yang juga bekerja membantu suku Piripkura, mengatakan Baita dan Tamandua menyebutkan keberadaan “kerabat” yang masih berkeliaran di hutan. ”Beberapa dari mereka masih hidup. Cuma mereka tinggal di dalam hutan. Mereka mencurigai pendatang. Kalau bertemu pasti akan dibunuh,” kata Fabricio.
Walaupun Badan Urusan Adat Funai memberikan bantuan perlindungan wilayah, keamanan pangan, dan akses layanan kesehatan, tapi menurut Rita, janji seperti itu tidak cukup untuk menjaga masa depan sukunya.
Rita yang sekarang tinggal di cagar alam Karipuna setelah menikah dengan anggota di sana mengatakan bahwa saat Ia membantu Funai dalam ekpedisi di Mato Grosso Ia melihat pohon semakin banyak yang tumbang. Dan ada banyak orang asing yang membuatnya khawatir akan saudara laki-lakinya dan keponakannya.
Keadaan ini semakin parah dengan sikap dan kebijakan Presiden Brasil Jair Bolsonaro yang memimpin sejak 2019. Ia menyuarakan dukungannya untuk ekploitasi komersial yang lebih besar di wilayah Amazon dan menentang kebijakan cagar alam. Bolsonaro mengatakan bahwa penduduk asli Brasil yang jumlahnya 1,1 juta dari 213 juta populasi tidak berhak untuk menempati wilayah sebesar 13 persen dari wilayah negara.
Padahal Cagar alam Piripkura ini mendapat perlindungan hukum. Regulasi perlindungan atau sebutannya Perintah Perlindungan Tanah, biasanya berlaku 18 bulan – 3 tahun. Namun perbaruan terkini hanya memperpanjang selama 6 bulan.
Ini seperti memberikan harapan bagi para penjajah bahwa mereka bisa mengambil tanah lebih cepat. Perkembangan lain yang semakin mengkhawatirkan adalah Layanan Geologi Brasil baru saja menerbitkan temuan baru bahwa terdapat kandungan minyak dan mineral yang cukup besar di bawah tanah di wilayah Mato Grosso.
Jelas ini membuat sejumlah LSM berteriak untuk menghentikan eksplotasi hutan Amazon.
Dalam sebuah laporan yang terbit pada awal November 2021 menyajikan bukti foto deforestasi. Sebuah jaringan LSM mengklaim bahwa area hutan seluas hampir 24 kilometer persegi di cagar alam Piripkura telah habis karena pembabatan. Hal ini terjadi antara Agustus 2020 dan Juli 2021. Luasnya setara dengan lebih dari 3.000 lapangan sepak bola.
Reporter: Desmonth Redemptus Flores