MATA INDONESIA, AMSTERDAM – Westerling adalah sosok yang kejam. Di Indonesia, nama Westerling identik dengan pembantaian di Jalan Lembong Bandung dan Sulawesi Selatan saat perang kemerdekaan 1946-1947.
Kekejaman Westerling sekarang tampil dalam sebuah film, De Oost yang sudah rilis sejak 2020 lalu. Film ini menuai kontroversi serta pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Film ini adalah film fiksi Belanda pertama yang menggambarkan sosok Raymond Westerling pemimpin Depot Speciale Troepen (DST) satuan khusus militer Belanda yang terlibat aksi pembantaian di Sulawesi Selatan.
Film ini merupakan produksi bersama antara Belanda dan Indonesia. Berkisah tentang Johan De Vries, serdadu Depot Speciale Troepen pimpinan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling. Johan mulanya bangga dan kagum pada komandannya. Namun hal itu berubah menjadi muak setelah lama menjalani peperangan dan pembantaian. Westerling dan Depot Speciale Troepen merupakan pelaku pembantaian di Sulawesi Selatan antara Desember 1946 hingga Februari 1947. Westerling mengaku jumlah rakyat Sulawesi Selatan yang ia bunuh hanya sekitar 600 orang. Namun versi Indonesia menyebut korban kampanye ala Westerling berjumlah 40 ribu orang. Angka ini berasal dari Kahar Muzakkar.
Sutradara asal Belanda yang memiliki darah keturunan Maluku, Jim Taihuttu menggarap film ini. Sedangkan produsernya ada dua orang yaitu Sander Verdonk warga asli Belanda dan Shanty Harmayn yang berasal dari Indonesia.
Johan adalah sosok protagonis yang diperankan aktor Martijn Lakemeier. Sebagai seorang tentara muda Belanda yang menjadi anak buah Raymond Westerling yang diperankan oleh Marwan Kenzari dalam operasi melawan pasukan anti-gerilya di Sulawesi Selatan.
Dalam film yang tayang di Belanda pada pertengahan Mei lalu itu, penonton dapat melihat gejolak emosi Johan saat menyaksikan pembantaian oleh Westerling, yang dalam film hanya disebut sebagai Raymond atau ‘De Turk‘. Julukan itu klop dengan tempat kelahiran Westerling, yaitu Istanbul, Turki. Tembakan demi tembakan kepada warga kampung yang dituding sebagai pemberontak meninggalkan trauma dan rasa bersalah pada Johan
Film ini menarik saat ditayangkan di Belanda. Karena hanya sedikit orang Belanda yang tahu soal perang kemerdekaan di Indonesia. ”Di Belanda, tak ada yang tahu atau hanya sedikit orang yang tahu. Mereka bahkan tak menyebutnya perang, tapi aksi polisional. Saya pikir perspektif historis ini menarik. Kakek buyut Jim meninggal dunia dalam perang ini, tapi dia tak pernah mendengar tentang peristiwa ini,” ujar sang produser Sander Verdonk.
Dalam riset film selama sekitar empat tahun, tim ini mengenali sosok Westerling, yang disebut Sander tokoh antagonis yang ideal. Film ini menurut Sander memang fiktif. Tapi penggambaran Westerling di film itu, disebutnya “sangat sedikit sisi fiktifnya.”
”Jika mengacu pada kisah aslinya, sangat tragis. Kami hanya menunjukkan sedikit dari itu, tak sejahat dan seburuk yang terjadi sebenarnya. Tapi ini cara yang baik menunjukkan dua sisi dari perang ini. Orang Belanda tak mau membicarakan ini atau tidak tahu, apalagi mengetahui kejahatan perang yang terjadi,” kata Sander.
Produser lainnya Shanty Harmayn mengatakan, di Indonesia sejarah terkait Westerling memang diajarkan di sekolah, tapi tidak secara detil. ”Saya pikir ‘wow, ini berani’ dan ini adalah bagian dari sejarah kita,” kata Shanty.
Film ini sebenarnya juga mengangkat sisi positif Belanda sebagai negara yang ngotot ingin berkuasa kembali di Indonesia.
Sejarawan Indonesia, Bonnie Triyana memuji film ini dan menyebutnya berani melihat sejarah masa lalu dengan terbuka. ”Film ini menurutku simbol keberanian pembuat film Belanda, generasi muda Belanda, yang berani melihat sejarahnya sendiri dengan jujur dan terbuka. Ini progresif,” ujar pemimpin redaksi majalah Historia itu.
Menurut Bonnie, dengan menonton film ini membuat bangsa Indonesia untuk memikirkan ulang sejarah di Indonesia dan berani melihat masa lalu yang berdarah-darah. Ia merujuk pada peristiwa Madiun 1948 dan Gerakan 30 September 1965, yang memakan banyak korban.
Bonnie menambahkan film De Oost layaknya “pukulan telak” dan “tamparan keras” bagi kelompok kanan dan retrogresif Belanda.
Beberapa keturunan dari komunitas prajurit dan veteran di Belanda juga menyambut baik kehadiran film ini. Menurut Maarten Hidskes, putra seorang mantan prajurit Westerling yang menulis buku Thuis gelooft niemand mij, mengatakan bahkan ayahnya tak pernah menceritakan pengalamannya selama perang kepada keluarganya. Buku ini menjadi salah satu sumber riset film De Oost.
Ayah Maarten yang meninggal sekitar 30 tahun lalu, tak pernah menceritakan pengalaman perang kepada keluarganya. Hanya menurut Maarten, ayahnya pernah depresi dan mendapat perawatan di rumah sakit jiwa selama beberapa waktu.
Kritik
Walau mendapat respons positif dari beberapa kalangan, film ini tak lepas dari kontroversi. Salah seorang putri Westerling yang bernama Palmyra mengajukan protes dan kritik terhadap film ini. Menurutnya sosok ayahnya tak sesuai dengan karakter di film ini.
Palmyra mengutip dokumen sejarawan Belanda untuk memperkuat argumennya bahwa apa kegiatan ayahnya saat ingin menjajah kembali Indonesia adalah sesuatu yang saat itu memang hal yang wajar. Menurutnya ayahnya dulu sering mendapat pujian dari anak buahnya. Bahkan anak buahnya menyebut ayahnya sebagai Ratu Adil.
Ia juga menyinggung istilah ‘Masa Bersiap’ yang begitu mengerikan antara 1945-1946. Masa itu adalah masa penuh teror sebagai aksi balas dendam kaum Bumiputra kepada orang-orang Belanda dan orang-orang yang terkait dengan Belanda.
Teror pada ‘Masa Bersiap’ juga telah mengurangi dukungan terhadap Republik dari para korbannya. Contohnya Nono Tanasale yang mulanya mendukung Proklamasi Indonesia, namun karena kecewa atas perundungan dan pembunuhan kepada orang-orang Ambon, dia berbalik mendukung Belanda.
Bagi Palmyra, film De Oost yang mengambarkan Kapten Westerling sebagai komandan algojo adalah sesuatu yang sensasional. Jim Taihuttu, sutradara De Oost, menggambarkan tentara Belanda seperti penjahat perang Nazi.
Namun, setuju atau tidak dengan film tersebut, faktanya tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945-1949 memang banyak melakukan pembantaian terhadap rakyat. Westerling memberlakukan pengadilan lapangan, yang tentunya jauh dari asas praduga tak bersalah. Di pengadilan lapangan, seperti tergambar dalam film De Oost, Westerling beserta pasukannya adalah jaksa, hakim, sekaligus eksekutor.
Penolakan film ini juga datang dari Sebuah kelompok di Belanda yang menamai kelompoknya dengan sebutan Federatie Indische Nederlanders atau FIN yang mengaku generasi ketiga warga Belanda yang memilki darah Indonesia. Mereka menuntut film ini di pengadilan. Mereka mendesak hakim untuk mengharuskan pembuat film mencantumkan keterangan di awal film bahwa cerita itu fiktif.
Padahal pembuat film sudah mencantumkan keterangan itu di akhir. Bahwa film itu terinspirasi dari kisah nyata, dengan adegan hingga dialog yang dramatisasi. Namun, bagi FIN, ini tak cukup. Bagaimanapun, hakim di pengadilan menolak gugatan ini karena hal menyiratkan pembatasan kebebasan berekspresi.
Meski menimbulkan pro dan kontra, bagi Sender Verdonk selaku produser Film menyatakan puas atas hasil karya mereka sebab film ini dapat membuka ruang diskusi soal masa lalu di Belanda.
Trailer film De Oost
Reporter : Ananda Nuraini